Minggu, 15 September 2013



Pernahkah kau merasa
Berdiri  di  tempat yang sama
Memandang Manglayang di depan sana
Berbekal sejuta asa (kala itu)
Apakah saat ini sudah menjadi nyata?

Pulang ke asal kita menaruh harapan
Tuk mencecap kembali nikmatnya kekerabatan
Bukan mencari siapa pemenang
Karena sesungguhnya tidak ada yang pecundang
Selain ujian sebuah persahabatan

Melepas Rindu pada riuhnya tawa canda
Meski kini mungkin  nasib kita berbeda-beda
Di bawah rindangnya kaliandra yang mulai menua
Bersyukur,  kita masih bisa bahagia bersama

Kawan, di tanah bekas milik Baron Baud ini
Pernah kita rajut berjuta mimpi
Meski mungkin tidak pernah jadi peternak sejati
Tapi percayalah mimpi itu akan terus bersemi didalam hati




Kamis, 29 Agustus 2013


Hujan belum juga reda, air yang turun seakan dicurahkan dari langit. Suara petir sesekali membelah angkasa yang masih diselimuti awan pekat. Tampaknya langit belum rela membiarkan mentari menyinari bumi. Aku termangu, berteduh dikolong jembatan layang ini. Bersama kawanan pelaju yang setiap hari wara-wiri membelah jalanan. Hari masih pagi, baru saja lima belas menit lewat dari jam tujuh. Di pojok sana sepasang muda-mudi tampak sedang asik mengobrol sambil berpelukan. Beberapa lainnya duduk-duduk diatas motornya sambil mengisap rokok.

Satu yang menarik perhatianku adalah sebuah gerobak milik pemulung disisi sebelah kiriku. Seorang lelaki lusuh sedang bercengkrama dengan seorang anak perempuannya. Anak itu duduk mencangkung diatas gerobak, yang baru berisi beberapa botol bekas air mineral.

“pak besok aku kan ulang tahun”

“oh iya bapak lupa nak, memang kenapa kalau besok ulang tahun?

“bapak mau kasih aku hadiah apa?

Si bapak tampak terdiam, matanya menatap nanar pada rinai hujan yang kembali turun dengan deras.

Mendengar percakapan ini akupun terhenyak, teringat peristiwa masa kecilku. Kehidupan orang tuaku tak jauh beda dengan yang dialami sibapak dan anaknya ini.

                                                                  *********

“makan yang kenyang nak, ini adalah hari spesial kamu”

Di warung tenda sederhana ini, ayah mengajak ku makan besar. Makan dalam arti yang sebenar-benarnya makan. Ada sepiring nasi putih yang hangat, ayam goreng panas, tempe, tahu dan lalapan. Aku makan dengan lahap, seperti orang kesurupan. Ayah menatapku dengan bahagia, matanya berkaca-kaca. Wajahnya menyunggingkan sebuah senyuman.

“ayah ngak makan? tanyaku. Aku baru sadar kalau ayah tidak makan sama sekali

“ayah sudah kenyang nak, biar kamu saja yang makan, ini kan hari ulang tahun kamu”

“tahun depan, kalau aku ulang tahun lagi, aku boleh makan disini lagi ya Yah?

Ayah hanya mengangguk perlahan, entah apa yang dipikirkannya. Setelah aku kenyang makan, ayah membayar makanan sejumlah 15 ribu rupiah. Duit kumal itu adalah uang yang berhasil dikumpulkannya satu harian ini. Buat kami, makan seperti ini adalah sebuah pesta besar yang tidak mungkin setiap hari kami lakukan. Paling sering ayah membawa pulang sisa-sisa nasi dan lauk pauk dalam box-box berwarna putih. Gambar atau logo pada box nya bisa macam-macam, merah, kuning, kadang hijau. Aku tidak terlalu memperhatikan gambar yang ada pada bagian luarnya. Aku lebih tertarik pada isi dalam box itu. Bila sedang beruntung, lauk pauk dan nasinya masih utuh. Itu adalah rezeki terbesar buat kami. Namun lebih sering, hanya ada sisa-sisa nasi dan sisa lauk pauk disana. Sedikit rasa asam sudah biasa buat kami. Cacing-cacing dalam perut orang-orang miskin sudah sangat terbiasa dengan kondisi ini.

Kadang ibu harus mencuci nasi-nasi yang berhasil kami kumpulkan karena sudah tidak bisa dimakan. Dijemur kemudian dimasak lagi. Nasi aking kata orang bilang. Sering aku tak habis pikir bagaimana bisa orang membuang-buang makanan-makanan enak ini. Sisa-sisa makanan ini, buat mereka adalah sampah, buat kami inilah penyambung hidup. Dari makanan-makanan sisa ini kami memperoleh energy untuk beraktivitas sehari-hari.

Aku hanyalah sedikit anak gembel yang beruntung bisa menyelesaikan sekolah hingga tamat SMU. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh sebuah yayasan yang bertindajk sebagai orang tua asuh. Saat ini kehidupanku sudah lumayan.

“pak, pakkkk, ……..suara anak kecil tadi membuyarkan lamunanku

“aku minta hadiah boneka ya? Si bapak hanya tersenyum getir.

Aku terenyuh, kuambil selembar uang Rp.50.000 dari dompetku, kuhampiri si bapak tadi.

“maaf pak, ini saya ada sedikit rezeki, tolong belikan apa yang anak bapak tadi minta”

Si bapak tertegun, tangan kanan nya masih memegang uang yang kuberikan.

“te … te terima kasih nak, semoga Allah membalas semua budi baik mu”.

Aku hanya tersenyum, dan segera berlalu. Masih dapat kudengar sayup-sayup rentetetan doa-doa yang di bacakannya. Doaku juga untukmu pak, semoga Allah segera memutus belenggu kemiskinan itu. Pelangi hanya akan muncul setelah hujan. Semoga kebahagiaan yang indah akan datang setelah kesusahan yang kita alami.



Sorot-sorot mata licik, putus asa, dendam, liar, semua bisa ku temui disini. Orang-orang dengan dengan seribu macam persoalan yang melingkupi pikiran mereka. Sampah masyarakat yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran liarku sekalipun. Disinilah aku sekarang, bersama mereka, orang-orang terbuang. Mencoba menikmati sedikit kebebasan yang masih tersisa. Duduk-duduk diluar sel, sambil menikmati semilir angin dan mentari yang tak pernah memilih siapapun penikmatnya. Kaum kroco, bromocorah, pecandu, pengedar, pembunuh berdarah dingin koruptor, semua tafakur dalam nikmat yang belum tentu dapat kami nikmati sepanjang hari. Di dalam kompleks ini, waktu seakan berhenti. Detik demi detik yang berlalu seperti ribuan tahun. Denyut kota metropolitan membuat waktu seakan berlari tapi tidak disini. Baru satu minggu ini aku menghuni rumah para pendosa , hotel prodeo atau apapun julukannya. Mencoba mereset semua jam biologis dan aktivitas yang biasa aku lakukan.



Selembar kertas bekas sobekan majalah terbang tertiup angin. Jatuh selangkah didepanku, terlihat bait kalimat yang terpotong namun masih bisa terbaca. Lelaki Di Pintu Su…, sisa nya sudah hilang entah kemana. Penggalan kalimat itu sudah cukup membuatku terkesiap. Kuambil potongan kertas itu, kuperhatikan dengan seksama dan kubaca bait-demi bait kata yang ada. Pikiranku melayang-layang, jauh sebelum semua ini terjadi. Seorang mahasiswa teladan dengan segudang prestasi akademik yang sangat mumpuni. Anak orang kaya, berbakti kepada orang tua dan mahasiswa yang sangat shaleh dimata teman-teman. Sebuah gambaran ideal tentang seorang pemuda harapan bangsa.

Role model yang harus ditiru oleh banyak anak muda dinegara ini. Sehingga sebuah majalah merasa perlu menurunkannya dalam sebuah tulisan berseri.. Kehidupan sehari-hariku diliput, lengkap dengan bumbu-bumbu yang bisa membuat pembaca semua terpana. Masih ada ya pemuda baik seperti ini? Mungkin itu yang mereka tanyakan dalam hati. Itulah aku, pemuda sempurna menurut ukuran norma masyarakat.

“hai, kenapa kamu melamun nak? Suara dan tepukan dipunggung membuatku sedikit terkejut.

“oh eh yaa pak, sedang liat sobekan majalah ini”, jawabku sedikit gugup.

“coba bapak lihat!

“wah jangan pak”

“coba, bapak cuma mau liat aja, apa sih isinya!, suara pak Broto, teman satu sel ku, pelan namun sangat berkharisma.

Akupun menyerahkan sobekan majalah itu kepadanya.

“hmmm jadi pemuda yang dimajalah ini adalah kamu?

“iyy ya pak”. jawabku sambil menunduk. Pak Broto memperhatikanku, aku semakin menunduk. Aku dihinggapi rasa malu yang teramat sangat.

“Lelaki dipintu Surga itu hanya judul yang mereka buat pak, katanya supaya lebih menjual, saya tentu saja masih sangat jauh dari pintu itu, saya tidak sebaik yang diceritakan disitu”.

“setidaknya kebaikan yang kamu lakukan terhadap ibumu ini memang luar biasa nak, alangkah lebih baik lagi jika kamu juga melakukannya untuk orang lain”.

“tapi dimata saya, kamu masih tetap orang baik”

“maksud bapak?

“Orang baik itu bukan berarti tidak pernah berbuat kesalahan”

“Ingat nak, semakin tinggi pohon, angin akan semakin kencang menerpa. Semakin baik seseorang maka godaan yang datang pun akan semakin berat. Anggap saja ujian yang kemarin itu kamu gagal, dan saat ini kamu harus belajar lagi. Disini akan banyak sekali waktu untuk belajar, merenung dan mendekatkan diri kepadaNya. Waktu khusus yang tidak akan kamu dapatkan diluar sana. Satu yang harus kamu ingat, Meskipun kamu sudah mendekati pintu surga, Kamu bisa saja tergelincir kembali menjauhi pintu yang sudah kau dekati itu”.

Aku termenung meresapi kata-kata bijak pak Broto. Dia adalah mantan pejabat yang terpaksa juga harus mendekam dipenjara ini. Kebijakan yang dianggap menguntungakan salah satu peserta tender membuatnya dianggap merugikan Negara. Vonis 6 tahun sudah dijalaninya selama lebih dari empat tahun. Kabarnya setelah dipotong remisi, tiga bulan lagi pak Broto akan bebas.

“setan bisa berbentuk apa saja nak, mereka tidak akan bosan-bosannya membujuk manusia. Termasuk juga pada orang-orang yang beriman kuat. Setiap manusia punya sisi lemah yang akan dimanfaatkan untuk menjatuhkannya”.

Suara Adzan mulai bergema, shalat zhuhur akan segera dimulai. Kami bergegas menuju ke masjid yang ada dalam kompleks rutan.

                                                       ******

Jamaah sudah mulai meninggalkan masjid. Aku masih saja khusyuk dalam doa-doaku. Titik air mata tak mampu lagi kubendung. Selaksa penyesalan bergemuruh dalam dada.

“Ya Allah, yang maha membolak-balikan hati manusia, teguhkanlah hatiku ini agar tetap senantiasa di jalan Mu. Kesuksesanku selama ini membuatku sombong dan takabur. Hingga suatu saat aku tak bisa lagi membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Uang jahanam itu yang telah meninggikan derajatku dimata manusia, dan kini uang itu pula yang membenamkanku ketempat yang hina ini. Ampuni aku ya Allah…….

Rabu, 28 Agustus 2013


1331856400318249711

Bau khas rumah sakit menyambut langkahku. Seorang petugas menunjukan kamarpasien yang ingin ku kunjungi. Dari kaca yang ada didepan pintu bisa kulihat kedalam sana. Seorang wanita tampak sedang berbaring. Sesaat aku ragu untuk masuk kedalam. Kuketuk pintu perlahan. Pintu terbuka, seorang wanita tuamenyambutku dengan seulas senyuman. Kuulurkan tanganku, mencium tangannya penuh haru. Wanita itu memeluk ku, “terima kasih kamu sudah mau datang”, bisiknya lirih.

Wanita itu menuntunku kedalam. Kami berdiri disamping sebuah ranjang yang dipenuhi alat-alat bantu penopang kehidupan. Diatas nya seorang wanita berwajah pucat tampak tertidur. Beberapa bagian tubuhnya dipenuhi oleh selang dan kabel-kabel yang menjaganya supaya tetap hidup. Berjuta perasaan berkecamuk dalam hatiku. Kusentuh tangannya yang sedingin es. Mata nya membuka perlahan, menatapku nanar.
“Mas, mas….kau kah itu mas?” Tersentak kaget diapun berusaha bangun tapi segera kutahan. “ya ini aku neng, kamu tiduran saja, maaf kalau kedatanganku mengagetkanmu!’
“a… aku senang sekali melihatmu mas!”
“bagaimana kabarmu mas”, sahutnya, matanya berkaca-kaca.
hmmm aku menarik nafas panjang, “aku baik-baik saja neng……..”
Aku tak sanggup berkata-kata. Segala rasa berpendaran dalam hatiku. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuatku ingin memeluknya erat-erat.
Kedua tangannya mengembang. Diapun ingin memelukku erat, meski selang-selang infus menahannya. Aku menjatuhkan diriku kepadanya. Dadaku bergemuruh hebat, kelebatan masa lalu menyelubungiku.
Kuciumi wajahnya, wajah yang dulu pernah sangat ku kenal.
“Kamu di sini? tau dari siapa? Senyuman kebahagiaan tampak terpancar dari wajahnya.
“lama ngak ketemu ya”
“Iya. berapa tahun ya? Lima belas?”
“tujuh belas tahun!” jawab mu
“Ouw! tujuh belas tahun. Dan kamu masih secantik dulu.” godaku.
“he he gombalmu ngak hilang-hilang toh mas”
“punya anak berapa mas?
Aku terdiam,
“ Maaf ya mas kalau aku lancang menanyakan itu”
Butuh waktu beberapa lama sebelum akau menjawab
“Setelah perceraian kita, aku tidak pernah menikah lagi neng”.
“Kamu tidak menikah lagi? Kenapa? tanyamu heran
“karena cuma kamu satu-satunya wanita dalam hidupku. Seluruh hatiku sudah kuberikan kepadamu”.
Aku tertunduk tak dapat melanjutkan omonganku.
Air mata kembali tumpah membasahi wajahnya. “aku ini wanita kotor mas, tidak pantas kamu menumpahkan segenap cinta kepadaku. Aku menghianatimu, meskipun aku tahu betapa baik nya dirimu.
“entahlah neng, kupikir waktu akan bisa mengobati semua kecewaku. Namun ternyata anggapanku salah. Rasa cinta itu tetap tersimpan dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Berharap dan terus berharap ada jodoh lain yang akan datang mengisi. Namun setelah tahun-tahun berlalu, rasanya sudah terlalu terlambat untuk memulai suatu hubungan baru.
“maafkan aku mas, maafkan aku. Aku menghianatimu, aku lupa diri, jawabmu sambil terisak. Pada akhirnya lelaki bajingan itu juga menghianatiku. Aku terima semua karma dari perbuatanku.. Kanker yang aku derita sudah tidak mungkin lagi diobati. Saat ini adalah penghujung umurku. Aku cuma berharap kamu bisa ada disisi ku, ketika malaikat datang menjemputku. Itu yang selalu kukatakan kepada mama. Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu. Mungkin nanti, dikehidupan yang akan datang.
*********
Dilapangan Gazibu senja mulai rebah di ufuk barat. Sekelompok remaja asik bercengkrama diatas motor. Beberapa lainnya duduk rapat memadu kasih. Disalah satu sudut, aku duduk termangu menatap kearah gedung sate. Menunggu mentari yang segera beranjak pulang. Betapa banyak kenangan pernah kita habiskan disini. Berharap dan selalu berharap kita bisa bersama lagi di kehidupan yang akan datang.
13384551401912615577


Menatap iringan orang-orang mengantar jasadmu, aku tersenyum puas. Kalau aku tidak berhak memilikimu, siapapun tiada yang berhak memiliki. Diantara rerimbunan pohon ini, seolah aku bisa melihat dirimu disana, menangis, meratapi nasib. Aku tersenyum, berjuta rasa yang aneh bercampur aduk dalam dada.Tak terasa dua butir air mata jatuh dari pelupuk mataku. Seutas tambang yang kubawa dari rumahmu kini melingkar di leherku. Mereka pasti akan menemukan jasadku nanti.
****
Sih…………Warsih, warsih, suara majikanku membelah kesunyian dipagi buta ini. “ ngapaian aja sih kamu, ngak cukup sekali kalau dipanggil”,
Iyaa bu , saya kan lagi nyuci di belakang, tadi ngak kedenger bu, ada apa ya?
“Saya mau pergi jogging, bapak masih tidur, nanti kalau dia bangun kamu siapkan sarapan ya!
“Baik bu, nanti saya siapkan, jawabku.
Selesai mencuci, masih banyak pekerjaan yang menungguku. Aku beringsut ke belakang mencari pel. Di ruang tengah, kulihat tuan sudah bangun. Akupun segera menghampirinya.
“Mau sarapan apa pak?”
Lelaki tua itu tersenyum genit, “kalau susu ada sih?” Sambil matanya jalang manatap belahan dadaku. Ada pak, jawabku ketus, akupun segera berbalik menuju dapur. Dapat kurasakan tatapan liar bandot tua itu mengikuti setiap lenggak-lenggok langkahku.
Selesai menyajikan segelas susu hangat akupun segera melanjutkan pekerjaanku. Mengepel lantai dengan iringan tatapan liar si buaya darat. Tatapan seperti ini membuatku sangat risih. Matanya seperti kucing yang melihat ikan, jelalatan dengan seringai yang sangat menjijikan.
Ketika aku sampai di dekatnya, tangannya segera menjulur memegang pantatku, kutepis tangan lelaki tua itu. Dia malah tersenyum genit. Kali ini dia malah menghampiriku lebih dekat, tangannya sudah menjulur tapi mendadak dia urungkan. Sebuah suara dari pintu kamar Aldi anak lelakinya terdengar, Tak lama pintu kamar pun terbuka. Si bandot tua itupun segera kembali ketempat duduknya sambil berpura-pura membaca Koran.
“ibu kemana pak? Tanya Aldi
“paling juga jogging sama ibu-ibu komplek” jawabnya singkat.
“sih, tolong buatin aku indomie dong!
“yya ya ya, mas bentar ya tanggung nih ngepelnya sudah mau selesai, jawabku gugup.
Entah mengapa aku selalu berdebar jika berada dekat pemuda ganteng ini.
Aldi baru berumur 20 tahun, kira-kira sebaya denganku. Sejak awal melihat pemuda ini, hatiku selalu bergetar tak karuan.. Tampaknya Aldi pun tahu dengan perasaanku ini. Beberapa kali dia sengaja menggodaku. Sampai akhirnya kami pun semakin dekat.
Dua bulan lalu, dia mengendap-endap kedapur ketika rumah sedang sepi. Dia memelukku dari belakang kemudian menciumi dan meraba-rabaku. Dadaku berdebar, perasaan aneh berseliweran dalam batinku. Antara rasa takut akan dosa dan hasrat muda yang menggelora Untunglah Aldi tak pernah lebih dari itu. Semenjak itu, hubungan kami menjadi lain. Setiap ada kesempatan kami selalu bercumbu.

Aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta, sampai tak sadar siapa aku. Perempan kampung yang miskin, berharap menjadi Cinderella yang disunting pangeran tampan dan kaya raya,
Hingga suatu saat, kami terbuai. Aku tergoda untuk menjadi binal. Ketika iturumah dalam kondisi kosong, Ayah ibunya sedang keluar kota. Hujan yang turun sedari sore, benar-benar sempurna buat insan yang sedang kasmaran. Jutaan kembang gula dalam mulutnya benar-benar telah melenakanku.
“kamu sangat cantik Warsih, bisiknya sambil memeluk ku dari belakang. Bibir kamipun saling berpagut, layaknya ujung magnet utara bertemu selatan. Dengus nafas kami berpadu dengan gemuruh jantung dalam hati. Tangan Aldi semakin berani meraba seluruh bagian tubuhku, “jangan mas, seru ku tertahan”, ketika Aldi mulai membuka kancing bajuku.
“aku akan menikahimu, secepatnya”, serunya dengan nafas memburu.
“Tapi apa ayah ibumu akan setuju mas? tanyaku lagi. “Ayah ibu sangat memanjakanku, semua keinginanku selalu mereka penuhi, kamu kan tahu itu!”.
Di iringi petir dan angin kencang, malam itu kami menuntaskan semua dahaga kami. Semua setan pun bertepuk tangan gembira. Aku sangat bahagia, jutaan mimpi terbayang dipelupuk mataku.
****
Sore itu, tuan dan nyonya memanggilku, disampingnya tampak Aldi duduk sambil tertunduk.. Wajah mereka terlihat sangat serius. Aku berdebar, apakah mereka akan segera menikahkan kami.
“warsih, kami sudah tahu hubungan kalian berdua. Tapi kamu harus ingat, kalian seperti bumi dan langit. Kamu semestinya sadar hubungan kalian tidak akan bisa dilanjutkan.
“aku terdiam, godam besar itu telah memukul kepalaku hingga berkunang-kunang, butiran air mata mengembang disudut mataku. ‘Tapi bu, kami sudah…..
“ya aku tahu sudah sejauh mana hubungan kalian, kami sudah mempertimbangkan dengan matang. Ini terimalah uang 15 juta ini sebagai ganti keperawananmu.
“Pulanglah kekampung, cari suami yang sederajat dengan kamu. Aldi sudah kami jodohkan dengan wanita yang lebih pantas dengan status kami, Kamu paham kan!”
Keperawananku ibarat sebuah barang yang hilang, dan kini majikanku telah menggantinya. Bumi berputar-putar, mimpi terbang kelangit ketujuh gagal, aku jatuh menghujam bumi.
Diiringi rintik hujan yang mulai turun, aku keluar dari rumah ini sebagai pecundang. Perempuan sundal yang harus dibuang dari istana mimpinya. Kini aku melengkapi kisah-kisah bunga yang terpaksa harus layu. Sedangkan kumbang dengan seenaknya pergi mencari bunga yang lain.
*****
Satu minggu berlalu, dendam dalam dadaku semakin hari semakin berkobar. Hingga tibalah saat itu, aku berjingkat masuk kedalam rumah yang sepi lewat pintu dapur yang memang aku punya duplikat kuncinya. Aldi tampak sedang asik mengobrol ditelepon. Suaranya terdengar ceria sekali. “hmm dasar lelaki sialan, kamu sama buayanya dengan bapakmu”, Aku mendekatinya dengan langkah perlahan. Setan-setan mulai merubungiku, memberiku kekuatan maha dasyat. Tiga tusukan pisau yang kuambil dari dapur membuat Aldi tersungkur. Matanya terbelalak, dia terkejut melihat wajahku, namun belum sempat dia berkata, roh nya sudah terpisah dari tubuh.

13321636571852076121

Pada malam itu aku meluncur dari tubuh seorang lelaki. Menyembur seperti curahan hujan yang jatuh dari langit. Bagai seorang pelari marathon, aku berlari menelusuri lorong-lorong basah dan hangat, bersaing dengan jutaan peserta lain. Aku melesat mendahului mereka semua demi memeluk sebuah ovum matang seorang wanita. Dari setitik kemudian tubuhku berkembang sedemikian rupa sampai Sang Khalik meniupkan roh kedalam ragaku.

Ketika aku sudah mulai hidup, dapat kurasakan kecemasan dan ketakutan pada hati wanita muda ini. Aku bisa merasakan degup jantung dan kegelisahan hatinya. Beda sekali ketika bulan-bulan sebelumnya. Kasih sayang diantara mereka begitu membuncah. Seperti tak ada lagi tempat untuk orang lain di dunia ini. Tubuh mereka seperti dua kutub magnit yang selalu menarik satu sama lain. Tubuh-tubuh hangat dan basah yang selalu menyiramiku.
Aku mencoba bertanya pada hati. Apakah aku ada karena cinta atau karena bujukan nafsu? tapi dia diam seribu bahasa
Plasenta satu-satunya sahabatku diruangan ini berkata, “sulit membedakan antara cinta dan nafsu, karena penyatuan fisik tidak berarti penyatuan hati”.
“Inilah ironi kehadiran kita di rahim seorang wanita. Kita bisa disambut dengan penuh sukacita tapi kita juga bisa disambut dengan tangisan duka”, lanjutnya lagi.
“aku hamil mas, wanita itu berkata dengan wajah sumringah dan disambut oleh sang lelaki dengan jutaan kebahagiaan.

Atau bisa juga
“aku hamil mas, wanita itu berkata sambil tertunduk dan menangis, dan si lelaki akan melotot karena marah dan bingung.

“hmm…….”, aku menarik nafas. Itulah nasib kita, plasenta dan janin. Kita tidak pernah tau akan jatuh di rahim wanita seperti apa. Seperti yang kualami saat ini. Aku jatuh dalam rahim seorang wanita muda yang masih berstatus pelajar.,Sedangkan lelaki nya sudah beristri. Aku bisa merasakan bahaya yang mengintai setiap saat dalam fase-fase perkembanganku.
Ketika cairan-cairan jamu, nanas muda dan segala macam racun tak mampu membunuhku.
Aku mencium rencana jahat mereka yang lain. Lelaki itu membisikan suatu kata, dan wanita muda ini hanya tertunduk sambil menangis. Belum sempat aku menaksir apa rencana mereka, bencana itu sudah datang.
Aku tak tau apa kesalahanku, ketika tiba-tiba saja tang yang tajam itu memotong-motong tubuhku. Tang itu masuk kedalam kamarku yang hangat dan nyaman. Mengoyak plasenta sahabatku, memotong tanganku, kaki, perut dan bagian apa saja yang bisa diraihnya. Potongan-potongan tubuhku yang sudah kecil-kecil itu kemudian dipaksa keluar. Di kumpulkan dalam kresek hitam persis seperti sampah pasar.
Kini aku hanyalah seonggok daging tak berarti. Dilemparkan dalam kubangan kotoran.Berkumpul bersama segala macam najis. Kematianku tidak berarti apa-apa. Meskipun aku mahluk yang telah bernyawa.Tidak ada upacara penguburan, doa-doa, kain putih apalagi bunga.
Dalam gelapnya septic tank ini aku bisa mendengar tangisan ratusan janin yang benasib sama denganku. Entah apa yang ada dipikiran manusia-manusia durjana ini. Siapa yang akan kupersalahkan. Wanita muda yang harusnya kupanggil ibu, lelaki mata keranjang yang tak jadi kupanggil bapak atau dokter yang harusnya memelihara kehidupan tapi malah membunuhku.

Dalam kesunyian yang teramat dalam, ditempat kotor ini,

“Aku mohon kepadamu ya Allah sang pemberi kehidupan, jika nanti aku kembali lagi kedunia, jatuhkanlah aku dalam rahim seorang wanita yang sholehah. Seorang wanita yang memang berniat menjadi ibu bagiku. Masukan aku kedalambenih-benih manusia yang beriman, yang memang berniat melanjutkan keturunan. Mereka yang telah diikat oleh tali pernikahan. Bukan pada manusia-manusia penikmat nafsu sesaat.”


.
Aku memanggilnya Ayah, seorang lelaki yang sangat berarti dalam hidupku.Lelaki hitam legam yang tak banyak bicara namun selalu kami rindukan kehadirannya. Lelaki paruh baya yang selalu memberi kami ketenangan, kehangatan, dan jutaan kasih sayang yang tak terkira.
Aku selalu merindukan bau kecut keringatnya saat pulang membawa sejumput rezeki. Gurat lelah diwajahnya selalu ditutupiya dengan senyum lebar, ketika kami meyambutnya di pintu rumah kontrakan kami.
Pagi buta dia sudah berangkat. Gerobak, pakaian lusuh dan sebatang ganco adalah teman setianya disepanjang perjalanan. Ibu hanya menyiapkan sebotol air dalam botol bekas air mineral, dan sebungkus nasi berlauk tempe. Nasi berbungkus koran bekas itu yang memberinya tenaga.
1341316366692701547
sumber : Dokumen Pribadi
Namun sejatinya sorot mata penuh harap dari anak dan isteri dirumahlah yang memberinya kekuatan luar biasa untuk melakoni pekerjannnya. Selaksa doa kami panjatkan, “semoga ayah dapat rezeki yang banyak hari ini”. Aku hampir tak yakin kalau Tuhan mendengar doa kami. Selama bertahun-tahun tidak pernah kulihat ayah membawa banyak uang. Sepanjang yang ku ingat, ayah hanya menyerahkan beberapa lembar uang kepada Ibu. Ibu akan menerimanya dengan sukacita. Dan di balik senyum tulus ibu, aku tahu, otaknya sedang bekerja keras mengatur anggaran supaya cukup.
Terkadang aku dan adik ku memaksa ikut di gerobaknya. Kami berdua naik diatas gerobak, menikmati panasnya matahari, paparan carbon monoksida dari kendaraan dan luluran debu jalanan. Sementara kami asik bermain diatas gerobak, ayah menarik gerobak sambil matanya sibuk mencari-cari kardus, bekas botol minuman ataupun barang lain yang sekiranya masih laku dijual,
Tak ada yang perlu diratapi dari kemiskinan kami. Setidaknya sejumput kebahagian masa kecil masih dapat kami rasakan, meskipun dari atas gerobak, Tuhan mungkin tidak memberi keluarga kami uang yang banyak tapi Dia telah memberi kami limpahan kebahagiaan yang luar biasa.
******
Beasiswa dari sebuah BUMN membalikan semua nasibku. Aku bisa kuliah, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan meskipun dalam mimpi. Selesai kuliah aku bekerja disebuah perusahan asing. Dan roda nasib pun berputar kearahku. Aku terdorong keatas dalam pusaran tertinggi. Karirku menanjak dengan cepat, kekayaan tiba-tiba saja melimpah ruah. Ayah dan ibu kembali ke desa, membeli sebidang tanah dan rumah. Aku dan adik ku tinggal di kota, menapaki kesuksesan hidup yang banyak diburu orang dengan berbagai macam cara.
*****
Kini dari dalam sejuknya mobil mewah, kulihat seorang lelaki tua berjalan tertatih mendorong gerobaknya. Dua orang bocah dekil asik bermain diatasnya. Aku terhenyak, Selaksa doa kupanjatkan, semoga Allah SWT memberi kalian jalan seperti Dia memberikannya kepadaku. Tak terasa mataku berkaca-kaca, tiba-tiba aku teringat lelaki hitam legam itu, aku rindu Ayah…….



Adzan magrib baru saja usai dikumandangkan. Tanah masih becek oleh air hujan, suara motor terdengar samar diluar rumah sederhana itu. Sore seperti ini memang masih banyak ojek yang mengais rezeki.

“Tok tok tok, Assalamualaikum, Lastri…………..Lastri, buka pintu nya”, suara ketukan pintu mengagetkan Lastri yang baru saja usai menunaikan shalat maghrib. ‘wa alllakum salaam, bang Panjul ya, sebentar bang”, Lastri bergegas menuju pintu depan. Suara derit pintu segera terdengar, mengiringi suara parau bang panjul

“waduhh gawaat Las….gawat…..!

“Gawat kenapa bang, kenapa tangan abang luka-luka dan wajah abang juga lebam-lebam begitu?

“Anu Las anu…..aku, ehh bis ku kecelakaan!!

“Kecelakaan”? ya tapi syukurlah abang masih selamat kan?

“ yaa, tapi…. ,Panjul termenung beberapa saat, hatinya bimbang untuk menceritakan kejadian yang sesunguhnya.

“sudahlah abang mandi saja dulu, shalat dulu, biar nanti luka-lukanya Lastri obati”

                                                 **********


Hari mulai beranjak malam ketika suara ketukan keras di pintu kembali terdengar, Lastri bergegas turun dari tempat tidur. Ketika pintu dibuka tampak olehnya pak RT bersama empat orang berbadan tegap dengan rambut cepak, berjaket hitam.

“Selamat malam bu Lastri, bang Panjul ada?

Ada pak? aa …ada apa ya?

Belum selesai kekagetan Lastri, bang Panjul sudah keluar dari kamar.

Seorang petugas bergegas masuk, tiga lainnya waspada mengawasinya.

“ Anda yang benama Panjul?

“Ya pak!, Panjul menjawab sambil tertunduk lesu

Anda Supir Bis BAKTI KITA?

“ya, ya , pak!

“Mari ikut kami ke kantor Polisi, banyak hal yang harus anda pertanggungjawabkan”

Panjul hanya tertundul lesu ketika dua tangannya dikalungi borgol.

Loh kenapa suami saya ditangkap pak? salah suami saya apa pak? Lastri mulai panik. Pikiran polosnya masih tidak dapat mencerna kaitan antara kedatangan polisi dan kecelakaan yang dialami suaminya.

“Bis bang Panjul masuk jurang bu, banyak korban jiwa, jadi bang Panjul harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, kata pak RT berusaha menjelaskan.

Panjul digiring masuk kedalam mobil petugas. Wajahnya nelangsa, lesu sambil menatap isterinya. “Maafkan abang Las, rem bis abang rusak, abang ngak bisa kendaliin itu bis, akhirnya banyak korban, abang panik terus lari ke sini”, Panjul berkata lirih.

Pak.., bapak, .. bapak , bapak mau kemana? bapak mau kemana? Suara Anisa anak semata wayangnya membuat miris hati Panjul. “bapak pergi dulu nak, nanti bapak kembali lagi bawa oleh-oleh ya” ,setitik air mata tak dapat panjul tahan, jatuh dari ujung kelopak matanya. Terbayang hukuman yang akan diterimanya. Siapa yang akan membiayai kehidupan anak isterinya kelak.

Deru mobil petugas segera berlalu menyisakan Lastri dan Anisa putri kecilnya.

Mengapa bapak di tangkap polisi bu? bapak kan orang baik bu?

Sesaat Lastri tak mampu menjawab, hanya linangan air mata yang yang coba diusapnya. Anisa yang berumur 8 tahun sudah terlalu pintar untuk dibohongi.

“Bis yang bapak bawa, rem nya blong terus masuk jurang, banyak korban yang meninggal nak, bapak harus bertanggung jawab”, Lastri menjelaskan sambil menahan isak tangisnya.

“Loh, kenapa bapak yang harus bertanggung jawab bu? Bapak kan korban kecelakaan juga? terus bisnya kan bukan punya bapak, bapak kan cuma supir?

Lastri tak bisa menjawab, bergegas dia gendong Anisa, masuk kedalam rumah. “kita tidur saja ya nak, hari sudah malam, semoga besok bapak mu sudah boleh pulang”.

Malam mulai bergulir, pagi hampir menjelang namun tak sekejap pun Lastri tertidur. Pikirannya masih mencoba mencari jawaban atas nasib orang kecil seperti dirinya. “mengapa bang Panjul yang harus bertanggung jawab?. Di perusahaan itu tugas bang Panjul cuma supir yang bawa penumpang sampai ke tujuan.

Teringat obrolan beberapa hari lalu ketika bang Panjul mengeluhkan beberapa sparepart bis yang seharusnya sudah diganti tapi belum juga diganti. Bos beralasan suku cadang sekarang sedang naik tinggi, kalau masih bisa diakali pakai saja yang lama dulu. Kejadian seperti itu menurut cerita bang Panjul bukannya yang pertama kali. Seringkali mekanik yang bertugas mengurus mobil, harus mengakali sparepart yang sudah rusak supaya bisa dipakai lagi. “Seharusnya bos bang panjul dong yang disalahkan”? hati kecilnya berteriak.

Adzan subuh mulai bergema, Lastri bergegas menunaikan shalat. Dalam dinginnya pagi, Lastri mencoba menerima semua cobaan yang diberikan kepadanya. “Ya Allah jika memang ini adalah kehendakmu, berikanlah hamba dan bang Panjul ketabahan untuk menjalani semua cobaan ini”. Rintik hujan mulai turun disubuh yang hening ini, langit pun sepertinya menangis melihat nasib rakyat kecil seperti dirinya.


Perempuan kurus dan dekil itu menatap nanar ke arahku. Tatapannya kosong, sesekali mulutnya berguman tak jelas. Rambutnya riap-riapan tak karuan, bau pesing dan apek bercampur menjadi satu.Kakinya terikat kuat pada sebatang balok besar berkuran kurang lebih satu setengah meter. Membatasi geraknya sekaligus mengikat kehidupannya dalam ruangan sumpek ini. Kulitnya tampak kusam di tutupi daki. Pergelangan kakinya tampak kurus karena lama tidak digerakan. Lalat beterbangan disekitar tubuhnya yang berbau tak sedap.

“Surti, ini aku Sur…., Mas Narto, kamu masih ingat?

“hi hi hi hi hi, aku orang kaya, rumah ku besar, aku ngak mau pulang ….aku ngak mau pulang, mulutnya menyeringai, sesaat kemudian terdiam…….

Aku terdiam menatap wanita muda di hadapanku ini. Teringat betapa dulu aku penah sangat mendambakannya. Betapa tidak, enam tahun lalu, Surti adalah kembang desa di kampung kami. Wajahnya cantik, ramah dan selalu ceria. Kemiskinan yang membelenggu keluarga nya membuatnya nekat mengadu nasib menjadi TKW ke arab Saudi. Tahun ketiga setelah kepergiannya, Surti pulang. Seisi kampung menyambut nya dengan takjub. Surti pulang dengan penuh kemenanganan. Wajahnya sumringah, kecantikannya memancar seiring dengan dandanan nya yang semakin modis. Tak beda dengan dandanan orang-orang kota yang sering kami lihat di layar TV.



Sebentar saja, semua lelaki di kampungku membicarakannya. Tidak hanya yang muda, orang-orang tua pun dibuat belingsatan melihat kecantikannya. Namun itu hanya sebentar, karena kemudian terbertik kabar jika Surti akan segera menikah dengan pemuda pilihannya. Konon mereka bertemu ketika Surti masih berada di balai latihan TKW di Jakarta. Surti disunting oleh pemuda beruntung itu. Pesta besar pun kemudian dilaksanakan, di iringi sumpah serapah dalam hati seluruh pemuda kampung, termasuk juga diriku. Pupus sudah harapan cintaku di gondol orang.

Tiga tahun hidup berumah tangga, kehidupan ekonominya bukan bertambah baik. Partono suaminya adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya berjudi, dari mulai sabung ayam hingga judi togel. Ketika anak pertamanya lahir, kehidupan semakin sulit saja. Uang tabungan Surti dari bekerja di Arab Saudi mulai habis. Warung kecil yang dulu diharapkan bisa menjadi penopang kehidupannya ahirnya bangkrut.

“Surti, lebih baik kamu kerja lagi saja di Arab Saudi, biar Budi anak kita, aku yang merawatnya, toh dia juga sudah besar sekarang”, kata suaminya suatu sore.

“tapi akhir-akhir ini aku dengar di berita, disana makin tidak aman mas, banyak TKW yang disiksa, aku takut” sahut surti.

“dulu kan kamu pernah kerja disana, toh ngak apa-apa kan?

“Sudahlah mendingan kamu kerja lagi saja ke Luar negeri, besok aku urus semua dokumen nya”. Nada suara Partono meninggi.

Surti tertunduk, rasanya dia tidak bisa membantah suaminya. Ekonomi mereka memang sedang sulit. Satu-satunya jalan, dia memang harus kembali bekerja. Namun yang menjadi ganjalan nya adalah Budi. Anak semata wayangnya yang baru berusia dua setangah tahun. Rasanya berat sekali berpisah dengan anaknya ini.

Dengan sejuta keraguan dalam hati, Surti pun berangkat ke tanah harapan. Mimpi indah yang coba di raihnya kembali. Namun impian tinggalah impian karena yang didapat adalah sejuta siksaan. Belum genap dua tahun, diapun terpaksa dipulangkan. Petugas mendapatinya terlunta-lunta di jalanan setelah sekelompok orang tak dikenal memperkosanya.

Surti pulang dengan wajah tertunduk, malu, sedih dan putus asa bercampur aduk menjadi satu. Bersamanya beberapa orang juga terpaksa dipulangkan dengan berbagai macam sebab. Mereka adalah orang-orang kalah yang kembali ke kampung halaman dengan sejuta cibiran. Ada saja mulut-mulut usil yang bukannya bersimpati malah menyebarkan berita negative perihal kepulangan mereka.

Surti disambut oleh Budi serta kedua orang tuanya. Tak Nampak Partono suaminya diantara mereka.

“ Kemana mas Tono, bu?

“ehhh anu ehh lagi sibuk, jadi ngak sempet ikut”, bu Kusmi menjawab tergagap. Dia tak ingin membebani pikiran putrinya dengan berita yang sedang heboh dikampung.

“kamu sudah besar ya bud, sudah tinggi sekarang”

“mana oleh-olehnya bu? Aku mau robot-robotan bu? “ Budi menarik-narik tangan ibunya

“ya, nanti kita beli ya nak”, Jawabnya dengan bergetar, Mata Surti berkaca-kaca. Jangankan untuk membelikan oleh-oleh, untuk beli makan saja saat ini dia tidak punya uang sama sekali. Pakaian yang dipakaipun hasil pemberian dari orang di KBRI. Biaya untuk pulang sampai ke desa, semua ditanggung oleh pemerintah.

Dia termangu-mangu dalam perjalanan pulang, “Semoga saja Mas Partono bisa mengerti keadaanku”. Komunikasi terakhirku dengan Mas Partono membuatku sedikir optimis, bahwa semua akan baik-baik saja.

“maafkan aku ya Sur, aku jadi buat kamu menderita seperti ini, nanti setelah kamu pulang kita mulai lagi menata kehidupan kita”, suaranya meyakinkanku.

“uang yang kamu kirimkan selama satu tahun kemarin, aku pakai untuk beli motor. Aku pakai ngojek, buat menafkahi anak kita. Sisanya aku tambhakan untuk modal bikin warung lagi didepan rumah bapak.”

“Kamu tak perlu lagi bekerja keras, biarkan aku saja yang mencari nafkah”

“oh terima kasih mas, jika uang yang aku kirimkan bisa kau gunakan dengan sebaik-baiknya. Aku benar-benar rindu kepada keluarga kita mas.

                                                                              ******

Jalan aspal yang mulus mulai terasa bergelombang dan tak lama kemudian berbatu-batu. Surti tersentak dari lamunannya. Desa yang asri dengan deretan sawah dan pohon-pohon buah-buahan menyambutnya. Jalan yang berbatu membuat mobil yang membawanya berjalan perlahan. Matanya bertumbuk pada dua orang yang sedang berboncengan motor di depan nya. Seorang wanita bertubuh seksi tampak dengan mesra memeluk si pengendara motor. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat mereka tertawa-tawa. Gaya centil siwanita membuatnya risih. Surti memalingkan mukanya dari pemandangan di depannya.

Tiba-tiba, budi berteriak,

Itu bapak, bu…….bu itu bapak”, serunya. Surti terkesiap, “ mana, Bud?

“Itu yang lagi boncengan motor”

Hatinya mendidih, itu memang benar suaminya…… “mas, berhenti kamu!! Teriaknya dari dalam mobil. Partono menengok, tampak kaget dan kemudian malah tancap gas, dan segera menghilang di ujung jalan sana. Cerita-cerita yang didengar berikutnya seperti godam besar yang di pukulkan ke kepalanya.Surti benar-benar terguncang mendengar hal yang sedang terjadi. Uang yang di kirimkannya ternyata digunakan oleh suaminya untuk menikah lagi.

                                                                           *********

Rambutnya yang dulu hitam mengkilat kini tampak kusam. Kulitnya yang kuning langsat sekarang di penuhi koreng dan bintik-bintik merah bekas gigitan nyamuk. Layu sudah bunga yang dulu dikelilingi kumbang. Orang tua Surti sudah tidak mampu lagi membiayai pengobatannya.

Wajahnya menyeringai menampakan gigi nya yang kuning. Hi hi hi…..

“Aku cantik dan kaya raya, uangku banyak….uangku banyak……..

Aku beranjak meninggalkannya. Jika saja negeri kaya sumber daya alam ini dikelola dengan penuh dedikasi dan kejujuran. Rasanya tak perlu lagi rakyat kecil mempertaruhkan nyawa mencari pekerjaan dinegeri orang.


Cerita terinspirasi dari berita di viva news.com tanggal 17 februari 2012, berjudul “Derita TKI yang dipasung”





Partini terkulai lemah di atas lantai kamar yang beralas kasur tipis. Disampingnya dua anak kembar yang baru saja dilahirkan tertidur pulas. Matanya menerawang kelangit-langit rumahnya, hatinya sedang gundah. Dia tinggal di sebuah bangunan sederhana yang lebih cocok di sebut gubuk. Dinding gedek tampak sudah bolong disana-sini., sementara sarang laba-laba tampak memenuhi langit-langit rumahnya yang tak berplafon.

Hadirnya buah hati merupakan suatu kebahagiaan yang tak terkira buat banyak orang. Namun untuk dirinya, kehadiran mereka benar-benar membuat hatinya diliputi sejuta kebimbangan. Bagaimana dia bisa merawat mereka. Sementara dua anak yang lainnya saja tidak dapat dia penuhi kebutuhan sehari-harinya.

Beban ekonomi yang dirasakannya bertambah berat terutama semenjak Mas Paijo pergi meninggalkannya tiga bulan yang lalu. Lelaki pemabuk itu meninggalkan dia dan anak-anak mereka tanpa pesan apa-apa. Gajinya sebagai pembantu rumah tangga, tentu saja tidak cukup untuk menutup semua kebutuhan sehari-hari.

Teringat percakapannya dengan seorang ibu paruh baya yang kemarin datang ke rumahnya.

“Bu Partini, lucu sekali bayi nya. Ini ada sedikit oleh-oleh buat merayakan kehadiran bayi-bayi lucu ini”.

“terima kasih ya bu, tapi maaf Ibu ini siapa ya?

“oh ya, saya bu Tuti, temannya bu Siti majikan ibu.

“Saya tau dari Bu Siti, katanya pembantunya yang bernama Partini baru saja melahirkan bayi kembar yang lucu”

“oh, terima kasih ya bu….

“merawat bayi kembar seperti ini pasti butuh biaya yang besar ya bu? Tanya bu Tuti dengan mimik penuh perhatian.

“ya begitulah bu, untuk biaya persalinan saja saya masih berhutang ke Paraji yang di ujung gang sana”

“untuk biaya sehari-hari darimana?

“ngak tau bu, saya juga bingung, suami saya juga pergi entah kemana, sementara ini masih ada sisa sedikit uang dari Bu Siti”.

“ehmm kasihan sekali ya”

“Begini bu, keponakan saya sudah menikah 3 tahun tapi belum juga dikarunia anak. Dia sangat mendambakan punya momongan.” Maaf ya bu, kalau ibu mau, bagaimana kalau anak ibu yang satu, atau dua-duanya, ibu berikan saja kepada keponakan saya. Bukannya menghina, tapi apakah ibu sanggup merawat dua bayi sekaligus? Biayanya pasti sangat banyak. Nanti, ya adalalah uang penggantiannya. Biaya Paraji biar saya yang bayar, gimana bu?

Partini termenung sejenak, hatinya bimbang. Hati kecilnya rasanya tidak tega jika harus berpisah dengan putri kecilnya.

“ehh gimana ya bu? Saya bingung, nanti saya pikir-pikir dulu ya bu….”

“Ibu pikirkan saja dulu, tapi apa ibu tega, mereka hidup tapi terlantar? Bocah bayi seperti mereka harusnya terpenuhi semua kecukupan gizinya bu. kasihan kalau bocah sekecil ini sampai harus kekurangan gizi”.

“Baiklah, nanti dua hari lagi saya kembali lagi ya”…..

                                                                              *********

Partini bersandar pada bale-bale di depan rumahnya, di dada kiri, bayi mungilnya sedang menyusu. Pagi mulai menggeliat, ufuk timur sudah mulai benderang. Aroma humus dan ilalang mengepung dari halaman rumahnya. Aroma yang selalu memberinya ketenangan ditengah hiruk pikuk kota.

Dua anak lainnya sedang bersiap berangkat ke sekolah.

“bu, uang jajan nya mana? Dua jagoan ciliknya tiba-tiba muncul dari dalam rumah.

“ibu ngak ada uang nak, maaf ya? Rasanya Partini ingin menangis, dadanya terasa sesak.

“ini si mbah ada uang dua ribu nih! Suara si mbah dari dalam rumah.

Dua bocah itu berlari kedalam rumah. Neneknya memberi mereka masing-masing seribu rupiah. Wajah riang segera terpancar dari keduanya. Untunglah jarak rumah kesekolah tidak terlalu jauh. Mereka berangkat sekolah cukup jalan kaki saja.

“hati-hati dijalan ya nak”…….

“ya bu, assalammualaikum………..

“wa aalaikum saaalam, seru Partini dengan pandangan mata haru.

Partini baru saja akan masuk kedalam rumah ketika dilihatnya Ibu Tuti datang bersama seorang temannya. Sebuah mobil tampak menunggu di ujung jalan sana. Setelah mempersilahkan tamunya duduk, Partini bergegas kedalam kamar. Masih saja hatinya bimbang.

“ada apa toh nduk? Suara ibunya bertanya dengan suara pelan

“kalau kamu ragu-ragu, sebaiknya tidak usah kamu berikan”

“ndak bu, aku memang harus memilih. Ini demi masa depan sikembar, juga masa depan Fauzan dan Fery. Jika aku berikan dua anak ini, paling tidak mereka akan punya masa depan yang lebih baik. Aku bisa kembali bekerja. Fauzan dan Feri tak perlu kekurangan uang jajan.



                                                                              ******

Mobil itu segera berlalu, mata Partini tak juga beranjak dari mobil yang mulai menjauh dari pandangannya. Hatinya serasa di iris-iris, dua butir air mata jatuh dari kedua pelupuk matanya. Tangannya masih menggenggam amplop coklat yang tadi diberikan ibu Tuti.

“kamu harus punya kehidupan yang lebih baik nak, ini pilihan yang ibu rasa paling baik, maafkan ibu nak”, serunya dalam hati.

Tangan renta Ibu memeluknya, “ sudahlah nduk, jika Allah mengijinkan, suatu saat pasti kamu akan bertemu lagi dengan mereka.

                                                                            ********

Hari berganti, partini sudah mulai bekerja lagi. Pikirannya mulai agak tenang meskipun masih sering teringat kepada dua putri kembarnya. Kehidupannya sudah mulai bisa kembali normal. Uang yang diberikan oleh bu Tuti, sebagian digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya. Sebagian lagi dibelikan beras dan kebutuhan sehari-hari.

Partini baru saja selesai menunaikan shalat Maghrib bersama dua orang anaknya,ketika tiba-tiba pintu depan diketuk orang.

“Assalamualaikum…….Bu partini, saya pak RT bu………! Suara orang diluar sana memanggil-manggil namanya.

“waaalikum salam, Partini bergegas membuka pintu depan. DI luar rumah tampak pak RT bersama tiga orang berbadan tegap. Disampingnya tampak Bu Tuti yang di apit erat dua orang wanita berambut pendek.

“Ibu yang bernama Partini?

“Ya, pak ada apa ya? tanya nya dengan wajah bingung

“Ibu harus ikut ke kantor polisi, karena ibu diduga terlibat dalam sindikat perdagangan bayi. Mari bu, ibu harus mempertanggungjawabkan perbuatan ibu. Menjual dan memperdagangkan bayi adalah perbuatan melawan hukum” suara polisi tadi bagaikan godam besar yang dihantamkan ke kepalanya. Pikirannya melayang-layang, menyeruak kedalam relung-relung hatinya yang paling dalam. Mengapa hidup ini demikian kejamnya, ini sungguh tak adil, teriaknya dalam hati……

Selasa, 27 Agustus 2013


By: Wisnu Mustafa & Yulia Rahmawati
No.103


Awan masih menggelayut, walau rintik hujan sudah pergi. Kabut itu perlahan-lahan berlalu, menampakkan rumput hijau dan pohon-pohon rindang dari balik jendela kamarku. “Aku pergi dulu ya Mas, kalau ada perlu apa-apa, di belakang ada mbok Minah,” teriak Pelangi, isteriku dari ambang pintu.
Belum sempat aku menjawab teriakannya, terdengar pintu depan tertutup. Tak  lama suara mobil mulai menderu menjauh dari halaman rumahku. Wangi parfumnya masih tertinggal diterpa angin. Hatiku bergetar, betapa aku sangat merindukan pelukan dan belaiannya.  Dua tahun sudah kulalui hari dalam kesunyian, kegelapan, dan kelumpuhan.
“Pelangi...” gumamku dalam rindu. Walau kita berada dalam satu atap, rinduku padamu terhalang raga yang tanpa daksa. Proses penyembuhanku ini benar-benar telah menyiksaku lahir dan batin.
Pelangi.... Terbayang dalam rindu ini padamu, ketika aku mulai merasakan sakit kepala yang berkepanjangan. Belum lagi penglihatan dan pendengaranku mulai memudar, kau setia mendampingiku.
Kau menyarankanku untuk periksa ke dokter, tapi aku mengabaikannya karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Ya, saat itu, dua tahun lalu aku adalah the best marketer  di perusahaanku. Posisi itu kuraih selama tiga tahun berturut-turut. Tentunya, itu tidak lepas dari prestasi dan kegigihanku dalam bekerja. Posisi yang sangat aku banggakan. Betapa tidak,  uang yang melimpah, kedudukan dan fasiltas yang sangat mumpuni, seakan semua keberuntungan tercurahkan dari langit kepadaku. Semua begitu mudah kuraih. Karir yang cemerlang, kekayaan, isteri yang cantik dan seorang anak yang manis. Sempurna, semua itu dambaan hidup yang selalu dicari oleh kebanyakan orang.
Sampai suatu saat, kepalaku terasa sangat sakit, berdenyut-denyut. Awalnya aku mengabaikannya, cukup hanya dengan obat dari apotek saja. Namun, belakangan sakit kepala itu semakin sering terjadi. Sampai suat saat   vonis itu benar-benar meluluhlantakan semua semangat hidupku.
Kanker otak anda sudah dalam stadium lanjut pak, kerusakannya akan menyebabkan gangguan pada organ-organ lainnya,” suara dokter bagaikan godam besar yang dihantamkan ke kepalaku.
Hari-hari selanjutnya mulailah babak baru penderitaanku. Walau aku langsung ditangani dokter spesialis, sakit kepalaku masih sering terasa. Pandanganku  pun mulai tak jelas, sebelum akhirnya hanya berupa bayang-bayang seperti siluet. Kedua kakiku pun akhirnya tidak dapat menyangga tubuhku. Lemas seperti tak bertenaga.
Sebuah keadaan yang bagiku merupakan hal yang lebih buruk dari kematian itu sendiri. Pernah terpikir untuk bunuh diri, namun aku tidak berani. Dini, anakku yang baru berumur 5 tahun menyadarkanku, betapa ada tanggung jawab besar yang harus kupenuhi. Di usiaku yang belum genap 40 tahun, jiwaku sekarat dalam tubuh yang sebenarnya sudah kuaggap mati.
Atas rujukan dokter, aku pun dioperasi ke luar negeri. Uang yang berlimpah tiba-tiba terkuras oleh biaya pengobatan. Perusahaan pun akhirnya terpaksa memberhentikanku. Pensiun dini, sebuah istilah yang terdengar sangat menyakitkan.
Uang pesangon yang diberikan perusahaan memang cukup besar. Namun itu juga akhirnya habis untuk biaya pengobatanku.Hanya rumah ini yang tersisa dari harta kita, inilah salah satu hal yang sangat kusesalkan dalam hidup. Tak berdaya dan terpakksa aku mengizinkanmu bekerja untuk kebutuhan kita. Namun seiring dengan karirmu yang terus menanjak, kurasakan kau semakin berbeda. Sikapmu semakin dingin, kemesraanmu tidak kurasakan lagi.  “Aku rindu semua kasih mu Pelangi”……
 “Pelangi, rupamu semakin hari semakin indah tapi sayang kau tak dapat kuraih,” perlahan aku mengguman. Hanya sapaanmu yang masih terngiang di telingaku. Datar dan terkesan dipaksakan, tapi selalu aku kenang. Wajahmu menyeruak dalam bayangan mataku. Namun, aku harus membebaskanmu, aku dan anak kita dari semua ini.
Kini, aku sudah mulai bisa bergerak walau hanya dengan kursi roda. Tetapi dokter menyemangatiku bahwa aku pasti bisa berjalan seperti semula bila aku rajin terapi. Bila tidak sedang terapi, Dinilah yang menjadi temanku bermain dan bercengkrama sepulang dia sekolah.
                                                                 ***
Bentangan gunung salak tampak samar tertutup awan tebal. Sisa-sisa rintik hujan yang turun subuh tadi masih terasa. Mentari yang berusaha keras keluar dari jebakan awan bersinar dengan malu-malu menghangatkan pagi. Cahayanya dipantulkan sisa air di udara menampilkan pelangi yang sangat indah di angkasa.
Pagi ini aku menatap keindahan alam Gunung Salak di teras rumah. Menunggumu keluar, sebelum kau pergi meninggalkanku.
Suara ketukan sepatu high heels mulai terdengar, menyadarkanku akan kehadiranmu. “Mas, kok ada di luar? Dingin kan?” Sapa Pelangi.
“Iya, aku sengaja menunggumu,” jawabku tersenyum.
“Oh... ada apa Mas?” kata Pelangi sambi melirik jam tangan, “Pagi ini aku ada meeting, kalau ada yang mau diomongin...”
“Iya,” potongku cepat. “Aku... aku hanya ingin menyapamu, sudah lama kita tidak ngobrol,” kataku.
“Mas, ngobrolnya lain waktu aja gimana?” kata Pelangi.
“Pelangi...!” aku terdiam, tapi aku harus mengatakannya.
“Iya...” jawab Pelangi  dengan tak sabar.
“Bila kamu merasa terbebani sama sakitnya Mas, Mas akan membebaskanmu, Pelangi,”
“Maksud Mas?” Pelangi terduduk. Wajahnya tampak sangat terkejut.
“Ya, aku membebaskanmu untuk memilih bersamaku atau melanjutkan hidupmu sendiri. Aku tak tahan kau abaikan Pelangi. Aku mengerti bahwa kamu sangat sibuk, dan semua itu untuk biaya penyembuhanku dan memenuhi kebutuhan keluarga kita. Tapi, aku tak mau jadi bebanmu. Aku paham, bukan hanya kebutuhan lahir yang tidak bisa kupenuhi, tapi kebutuhan batin juga,” kataku pelan.
“Mas...”, mata Pelangi mulai berkaca-kaca
“Sebenarnya aku tak ingin melepaskanmu Pelangi. Kaulah pelangi hati dalam hidupku. Tapi, aku tak ingin membuatmu terkungkung dalam diriku yang tak berguna ini.”
“Tidak Mas...” Pelangi menatapku tak percaya. “Aku masih setia padamu. Dan aku tidak akan pergi darimu. Akad pernikahan kita adalah janji kita pada Tuhan. Aku tidak akan mengkhianatinya.”
“Tapi Pelangi...”
“Mas, aku minta maaf bila semenjak bekerja aku seperti mengabaikanmu,” Pelangi tertunduk. “Aku sadar dan malu bertemu Mas, karena aku mengabaikan dan tidak menjagamu. Tapi, aku juga harus bertemu banyak klien, yang kuanggap itu jalan rejeki kita.Akhirnya aku malah  mengabaikanmu dan Dini, lupa akan tujuan aku bekerja. Maafkan aku Mas...”, Pelangi sudah tidak dapat membendung linangan air mata yang membasahi pipinya.
“Aku sudah memaafkanmu Pelangi... hanya saja aku tak ingin membebanimu... Bila kau ingin pergi, pergilah. Asalkan kau bahagia, aku akan sangat bahagia.”
“Tidak. Aku tidak akan melepaskan mu, mas. Aku akan berusaha untuk seimbang antara pekerjaan dan menjaga mas serta Dini. Aku sudah bahagia berada di sisi mas dan Dini.”
“Kita akan selalu bersama, sampai maut memisahkan kita mas, itu janjiku”
“Oh Pelangi... alangkah bahagianya aku mempunyai istri sepertimu,” lirihku dalam genggaman tangan Pelangi.
“Mama... Papa... lihat ada pelangi...!” teriak Dini, putri kami,  sambil menunjuk ke arah pegunungan. “Indah ya...”

NB: Pernah Diposting di salah satu even menulis di kampung fiksi kompasiana