Senin, 14 Januari 2013

Aku terbangun di subuh yang dingin menusuk tulang. Diatas sebuah ranjang bertabur bunga melati. Disampingku tertidur pulas seorang lelaki gendut bertelanjang dada.Tubuhnya Cuma ditutupi kain sarung sebatas lutut. Dengkurnya terdengar dalam irama yang teratur. Segurat senyum tampak diwajahnya yang bulat.
Aku menarik selimut menutupi tubuhku yang telanjang. Menatap langit-langit kamar yang masih berhiaskan aneka bunga dan pita. Disudut kamar tampak rangkaian bunga sedap malam dan aster menebarkan harum yang semerbak ke seluruh ruangan.,Dekorasi kamar yang sama, seperti yang kulihat dulu. Tak pernah terbayangkan jika pada akhirnya aku harus menikah dengan lelaki disampingku ini. Lelaki yang malam tadi mengkhatamkan hasratnya yang menggelora. Dalam Sebuah pertautan halal yang di telah disahkan oleh agama dan negara. Aku pasrah dalam rangkulnya, membiarkannya menelusuri setiap lekuk ditubuhku. Deru nafasnya terasa panas di wajahku, membisikan kata-kata bersalut madu. Akupun meluruh dalam pusaran nafsu hingga tak sadar ketika kancing-kancing bajuku sudah terlepas satu-satu, Sampai dia menuntaskan dahaganya, melenguh lalu tergolek lemas disampingku. Namun masih saja ada rongga kosong dalam hati ini. Benarkah keputusan yang kuambil ini. Lelaki itu baru bisa memiliki tubuhku saja tapi tidak jiwa ku. Aku terkapar dalam jiwa yang kering, terombang ambing dalam kebahagiaan semu. Itulah pertautan ku yang pertama sekaligus terakhir dengan lelaki itu. Hari selanjutnya kami hidup dalam satu atap namun tidak pernah lagi melakukannya. Aku selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan. Malam pertama dengannya itu kuanggap hanya sebuah kekhilafan. Teringat pernikahan pertamaku beberapa tahun lalu. Kini bayang-bayang kegagalan itupun kembali menghantuiku. Dulu pernah kurajut kasih bertahun-tahun sampai berujung dipelaminan tapi sayang nya langsung berantakan dalam hitungan sebelah jari tangan. Apalagi kini denganlelaki yang kurasa asing bagi perasaanku.

                                                                              *************

“dulu kamu menikah dalam usia yang masih labil nduk, belum matang secara mental” ibu mengingatkanku pada suatu sore yang temaram diteras depan rumah. “Saat ini kamu sudah lebih dewasa, seharusnya kamu bisa lebih bijaksana dalam bertindak dan bersikap. Ada banyak hal kesalahan besar yang kamu lakukan pada suami mu dulu, jangan lagi kamu lakukan pada suamimu yang sekarang, sudah saatnya kamu berubah”. Aku tertunduk mencoba meresapi kata-kata ibu. Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa, semua berjalan biasa saja sama seperti kami belum menikah. Tidak pernah sekalipun aku memasak. Lebih banyak suamiku yang pulang kerja membawa makanan dalam kantung-kantung kresek. Kami sama-sama sibuk bekerja sehingga hampir tak sadar akan status kami yang sudah menikah. Pada awalnya semua berjalan biasa saja, baru kemudian riak-riak itu muncul. Meletus emosi kami berdua sampai satu saat perpisahan adalah jalan terbaik yang harus kami tempuh. Ego dan emosipun akhirnya mengalahkan akal sehat dan cinta yang pernah kami bina bertahun-tahun. Ada sejumput penyesalan dalam relung hatiku yang paling dalam, kami berdua sama-sama terluka namun terlalu gengsi untuk sekedar menyatakan penyesalan dan sepatah kata maaf. Kini di pernikahan yang kedua, semua tak juga berubah. Apalagi pernikahan ini memang hanya untuk mencari status. Sebutan janda sangat tidak nyaman kurasakan, hingga suatu saat seorang perjaka tua melamarku. Tak ada rasa cinta dihati ini, hanya ada sejumput kekaguman akan kegigihannya mendekatiku. “ Maaf saja, aku tidak bersedia, Aku tidak mencintai mu mas”, jawabku ketika pertama kali dia melamarku. Dia hanya tersenyum, “ Aku akan menunggu sampai kamu mencintaiku”, jawabnya tegas. Tahun berjalan, aku jatuh bangun membina hubungan dalam lingkaran setan pacaran yang tak berujung. Sementara usiaku semakin bertambah, belum ada seorang pun yang tampaknya serius melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sementara disana ada seorang lelaki yang begitu setia menungguku. Hingga akhirnya di usahanya yang kesekian kali, aku meluruh, “baiklah aku bersedia, tapi dengan syarat, mas tidak boleh banyak menuntut. Aku tidak mau banyak diatur, bagaimana? “Baik, terserah kamu, yang penting kamu mau menikah denganku. Aku sangat mencintaimu Arini”. Biarkanlah bibit cinta ini mencari jalannya, aku akan menyiraminya agar suatu saat bermekaran dalam hati mu”. Jauh di dalam hatiku aku tersentuh oleh semua kata-kata dan sikapnya.

                                                                                  *********  

Mas Bram sudah berangkat kerja dari subuh tadi. Ketika merapikan tempat tidur, kudapati sebuah kotak kado kecil dan selembar surat di bawah bantal. Dear Arini, Terima kasih atas segala pengorbanan mu selama ini. Aku tahu sulit memang hidup bersama orang yang tidak kamu cintai. Namun aku masih berharap cinta akan tumbuh dihati kamu seberapa besarnyapun itu. Aku akan terus menunggu dan memupuk rasa itu agar semakin bertambah. Berharap dan selalu berdoa semoga suatu hari nanti kamu akan mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Oh ya ada satu hadiah kecil buat kamu, semoga kamu suka. Happy Anniversary Honey. Aku terhenyak sejenak, mataku terasa panas, setitik butiran bening jatuh dari mataku tanpa sanggup aku cegah. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan bersalah membuncah dalam dadaku. Nafasku terasa sesak, betapa kejam nya aku ini. Satu tahun sudah aku menyianyiakan orang yang sangat mencintaiku. Aku segera beranjak bangun dari tempat tidur. Aku bertekad akan mencintai suamiku dengan segenap jiwa ragaku. Sudah cukup rasanya benteng yang kubangun selama satu tahun ini. Sebaris pesan kukirimkan via BBM, “mas pulang sore ya, aku ingin merayakan hari jadi kita, Love You “ Inilah pertama kalinya aku menuliskan kata love you pada pesan yang kukirim. Hatiku serasa berbunga-bunga. Tiba-tiba saja rasa kangen muncul dalam hatiku, menyingkirkan semua keegoanku selama ini.

                                                                                       ******  

Seharusnya sore ini menjadi hari yang indah buat hubunganku dengan mas Bram, tapi takdir ternyata berkata lain. Sebuah truk tronton, menyerempet motor nya hingga terpelanting. Aku menjerit sejadi-jadinya melihat jasad nya terbujur kaku di depanku. Setangkai mawar merah dibalik jaketnya membuat hatiku semakin teriris. Aku bersimpuh merapalkan selaksa kata maaf dan berjuta penyesalan. Seulas senyum bahagia tampak di wajahnya yang pucat. “Mengapa kamu harus pergi disaat cinta itu datang padaku mas? Seruku lirih.