Minggu, 06 Maret 2011


Aroma hio yang menyengat bercampur asap yang memedihkan mata dan beduk khas China, menyambut ku ketika masuk ke halaman kelenteng (wihara). Orang-orang mulai ramai berkerumun disekitar bara api yang tampak merah membara. Hawa panas yang dipancarkan dari tumpukan bara sepanjang 10 m sudah terasa pada jarak 3 meter dari lokasi. Didalam wihara semua persiapan sedang dilakukan. Tangsin mulai membaca doa, asap hio semakin menyengat, suasana magis pun segera tercipta. Ritual akan diawali dengan acara potong lidah.


Acara potong lidah adalah upacara yang penuh daya magis, karena seorang tangsin dalam kondisi trance atau kesurupan akan melukai lidahnya. Darah yang keluar dari lidah akan dipakai sebagai tinta untuk menulis huruf-huruf Cina di atas kertas Hu. Kertas ini adalah kertas berwarna kuning yang biasa digunakan untuk upacara kematian. Tulisan yang ada pada kertas hu ini di percaya dapat menolak bala atau menakuti setan, sehingga kerap di pasang di pintu-pintu rumah warga
Potong Lidah
Tangsin mulai berkomat-kamit membacakan doa, sesaat kemudian tubuhnya bergetar. Tampak di tangannya Sebilah pedang berukuran besar berkilat di terpa sinar lampu. Kondisi trance atau kesurupan segera bisa kita lihat. Tangsin mulai mencabut pedang dan menempelkan pada lidah nya. Sesaat kemudian darah pun menetes deras dari lidah yang terluka. Tak sedikitpun rasa sakit pada wajahnya. Darah segera di tampung dalam piring kecil, kemudian tangsin menggunakan nya untuk menuliskan aksara cina di atas kertas berwarna kuning yang disebut Hu. Tulisan bertinta darah diatas kertas Hu, dianggap sebagi isim atau azimat untuk memulai ritual selanjutnya.
Injak bara
Isim yang terbuat dari kertas Hu kemudian di taruh dalam mangkuk, kemudian di kuburkan diempat sisi dari bara api yang mulai membara. Tujuan nya dalah untuk meinjinakan panas yang ada pada bara. Suara beduk khas china semakain keras berbunyi, Sesaat kemudian tangsin mulai keluar dari dalam wihara menuju ke tempat bara api. Berkomat-kamit sejenak, kemudian tangsin mulai menginjakan kaki diatas bara api. Dia berjalan perlahan, mengontrol setiap jengkal bara api yang dilaluinya. Tak ada sedikitpun rasa takut akan panas yang menyengat. Beberapa kali dia berjalan bolak-balik di seluruh bagian bara. Sesaat kemudian dia berteriak lantang, “…Essssai, para peserta injak bara pun segera bergerak mengikuti langkah tangsin. Kata esai merupakan tanda bahwa bara api sudah dijinakan dan dapat segera dilalui.
Penonton terhenyak sejenak, suasana mendadak sepi. Seorang tetanggaku dengan tenang berjalan diatas bara api yang membara, tampak wajahnya sedikit meringis ketika menginjak sesuatu diatas bara, tapi setelah itu kembali berjalan dengan tenang sampai di ujung lintasan.Setelah itu berturut-turut orang yang lain mulai berjalan diatas bara api yang tampak mengepulkan asap. Panas nya bara api tidakmenyurutkan peserta yang ingin mencoba bagaimana rasanya berjalan diatas bara.
Siapapun boleh menginjak bara ini, apapun keyakinan dan agama nya, tangsin siap membantu setiap orang yang berminat untuk merasakan sensasi berjalan diatas bara. Salah seorang tetanggaku yang setiap tahun rutin mengikuti acara ini mengatakan bahwa, telapak kaki nya hanya merasakan hawa hangat dari bara yang membara tadi. Memang kulihat kondisi telapak kaki nya baik-baik saja hanya ada sisa-sisa debu arang yang berwarna putih.
Dari cerita orang –orang yang mengerti akan ritual ini. Tangsin berperan dalam menjinakan bara api yang membara supaya tidak terasa panas di kaki orang yang menginjaknya. Namun kadang-kadang ada saja bagian dari bara yang tidak semuanya bisa di jinakan oleh tangsin.Akibatnya ketika terinjak akan terasa panas. Sama seperti kita menginjak duri ketika kita berjalan di padang rumput, demikian tetanggaku memberikan perumpamaan. Panas yang dirasakan pada telapak kaki hanya sebatas panas seperti ketika kita menginjakan kaki diatas aspal pada waktu siang hari. Meskipun demikian tak ada keberainian dalam diriku untuk mencobanya. Logika dalam otak ku tak mengizinkan aku untuk melakukan nya. DItambah lagi hawa panas yang sangat terasa pada jarak beberapa meter dari bara yang membara, menyiutkan nyali ku.
Mandi Minyak Panas
Acara lain yang tak kalah menarik adalah mandi minyak panas. Seorang kru menyiapkan tungku besar yang diatasnya di masak minyak. Tangsin mulai trance dan segera memotong lidah nya untuk mendapatkan darah. Darah digunakan untuk menuliskan sesuatu di kertas hu dan dalam kuali besar yang akan di gunakan untuk memasak minyak.
Minyak pun dituangkan, ditambah sedikt teh dan bunga sedap malam. Api pun segera dinyalakan. Tak lama kemudian minyak mulai terlihat panas, tangsin segera merapalkan doa-doa, para peserta mulai berbaris di belakang tangsin. Sesaat kemudian, tangsin mempersilahkan mereka melakukan ritual. Minyak yang sangat panas tersebut di kibaskan ketubuh mereka dengan menggunakan selembar handuk kecil, tak seikit pun rasa takut tubuhny akan hangus melepuh. Aku dan penontonn yang berada di dekat mereka merasakan betapa panas minyak yang terpercik kearah kami. Namun, tubuh-tubuh yang bertelanjang dada ini begitu menikmati setiap tetes minyak panas yang mengenai tubuh mereka.
Selesai acara mandi minyak, penonton pun segera berhamburan menyerbu minyak yang tersisa di dalam kuali besar. Untuk orang Tionghoa, minyak ini dianggap minyak pembawa berkah, sehingga penonton pun mulai berebut menampung minyak kedalam wadah apa saja yang bisa mereka gunakan. Beberapa diantaranya malah sudah membawa wadah dari rumah.
Rangkaian acara-acara ini adalah dalam rangka memperingati hari ulang tahun atau Se jit Kongco Hok Tek Ceng sin. Dalam kepercayaan orang-orang cina, Hok Tek Ceng sin atau Dewa Bumi ini dipercaya merupakan dewa pembawa rejeki dan kemakmuran.
Siapakah Hok tek Ceng Sin
Hok Tek Ceng Sin sering juga disebut sebagai Thouw Te Kong atau Dewa bumi. Dewa bumi dianggap ada pada setiap daerah. Makanya tak heran jika ada banyak wihara di Indonesia memakai dewa bumi sebagai ikon nya. Cerita mengenai asal muasal dewa bumi sangat beragam, salah satunya adalah cerita dari dinasti Thou.
Pada masa pemerintahan Thou Wu Tang, ada seorang menteri bernama Thio Hok Tek. Dia bertugas mengurusi pajak yang ditarik dari rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya Thio Hok Tek sangat bijaksana, malah seringkali dia memberikan uang kepada rakyat yang tidak mampu. Setelah Thio Hok Tek meninggal dunia, jabatan nya di gantikan oleh Wei Chao. Orang ini sangat bertolak belakang sifatnya dengan Thio Hok Tek, rakyat ditindas dan pajak ditarik dengan semena-mena. Kerinduan rakayat akan orang yang bijaksana dan pemurah seperti Thio Hok eEk diwujudkan dalam bentuk patung.
Pemujaan terhadap patung Thio Hok Tek ini akhirnya meyebar diantara rakyat kecil, merekapun akhirnya memanggilnya dewa bumi. Pemujaan terhadap dewa bumi biasanay dilakukan setelah penen raya. Pemujaan sebagai bentuk syukur atas panen yang melimpah. Pada Dinasti Siang/Shang, tradisi ini kemudian diberi nama Hok Tek Ceng Sin, yang berarti memeperoleh rezeki .
Perayaan Sejit Hok Tek Ceng SIn
Sebagian besar kelenteng di Indoensia merayakan Sejit hok Tek Ceng Sin pada Tanggal 2 bulan 2 imlek (Ji Gwee). Sedangkan para petani di China merayakan nya pada tangal 15 bulan 3 imlek. Perbedaan ini terjadi Karena beragamnya versi cerita mengenai Hok Tek Ceng Sin.
Perayaan Sejit hok tek ceng sin selalu meriah, karena atraksi-atraksi luar biasa yang selalu di tunggu oleh para penonton. Perayaan sejit meskipun sejatinya adalah perayaan keagamaan namun selalu memberi hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar wihara. Sejak era pemerintahan Gus dur kesenian-kesenian Cina mulai kembali bergairah. Barongsai, Wayang Potehi, termasuk perayaan-perayaan keagamaan di kelenteng-kelenteng kembali menunjukan eksistensinya.
Semua budaya ini berbaur dengan budaya-budaya lokal tanpa ada gesekan di masyarakat. D isetiap perayaan di kelenteng yang ada di daerah ku ini, selalu ada kesenian tradisonal lenong betawi dan gambang kromong. Ibu-ibu berkerudung kerap terlihat di halaman kelenteng, menonton pertunjukan-pertunjukan yang di selenggarakan. Suasana yang guyup dan bersahabat sangat terasa disaat-saat seperti ini. Hilang sudah sekat-sekat SARA diantara kami, yang ada adalah kami warga satu kampung yang sedang bergembira, semoga ini menjadi contoh betapa indahnya kebersamaan berbingkai kebhinekaan.

Keterangan :
Tangsin : Orang yang berperan sebagai perantara antara roh dan dunia nyata, roh menggunakan tubuh tangsin untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar nya.
Kertas Hu : Kertas berwarna kuning, yang biasa di gunakan untuik upacara kematian, digunakan juga sebagai isim atau azimat
Sejarah Hok Tek Ceng Sin, Sumber:www. poanthian.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar