Selasa, 20 September 2011



Pernikahan sejatinya adalah menyatukan dua hati yang saling mencintai. Keikhlasan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan. Berkomitmen untuk memulai kehidupan yang baru dengan semangat saling menghargai. Namun ada kalanya niat mulia tersebut terhalang oleh factor keluarga besar dari pasangan. Restu dari orang tua dan semua anggota keluarga tentu akan menjadikan sebuah perkawinan terasa lebih sempurna. Calon mantu akan di lihat dari Bibit, Bobot dan Bebet nya. Semua penilaian ini akan menjadi pertimbangan dari calon mertua, diterima tidaknya seorang calon mantu.

Penilaian seseorang layak atau tidak menjadi calon menantu ini kadang sampai menelisik masa lalu nya. Hal ini dialami salah seorang temanku ketika dia memutuskan untuk menikah. Calon istri yang akan dinikahinya berstatus janda beranak satu. Kontan saja seluruh keluarga besarnya menolak mentah-mentah. Dalam persepsi mereka, janda adalah seseorang yang sudah pasti tidak baik masa lalunya. Di zaman yang sudah maju seperti sekarang inipun, anggapan miring tentang kehidupan sosial seorang janda masih saja membelenggu pikiran kita.




Stigma negatif seorang janda

Dalam budaya patriarki yang dianut oleh masyakat kita, status janda adalah bentuk penyimpangan norma dari suatu system keluarga. Keluarga dipimpin oleh seorang lelaki sebagai pencari nafkah dan wanita yang mengurusi rumah dan anak-anak. Ketika seorang wanita menjadi janda maka bukan hanya beban ekonomi yang membebaninya, lebih berat lagi adalah beban sosialnya. Secara ekonomi, banyak wanita yang sudah mapan dan menghidupi kehidupan nya sendiri. Namun ketika mereka mampu secara finansialpun masyakat masih tidak mempercayai hal itu. Keberhasilan secara finansial selalu diembel-embeli dengan kecurigaan bagaimana uang itu diperoleh. Seorang janda apalagi bila usianya masih muda, memikul beban psikologis yang lebih berat lagi.

Di film-film maupun sinetron, janda seringkali digambarkan sebagai wanita pengganggu dan perusak rumah tangga orang, tukang morotin duit, dan perayu lelaki. Penggambaran peran seperti ini bisa saja punya andil dalam membentuk image seorang janda. Masih banyak orang yang memandang sinis keberhasilan yang di capai oleh seseorang berstatus janda.

Menjadi janda bukanlah pilihan, itu adalah takdir yang memang harus dijalani oleh seseorang. Kalau bisa memilih takdir, tentu mereka lebih bahagia bila hidup bersama pasangan. Hidup dalam suatu keluarga yang utuh, dipimpin oleh seorang lelaki sebagai kepala rumah tangga. Nasib mengantarkan mereka menjadi janda. Bercerai karena kematian maupun karena sebab-sebab yang lain. Posisi wanita yang bercerai tetap saja lemah dimata masyarakat. Kehancuran rumah tangga seringkali hanya dibebankan kepada kegagalan isteri mengelola rumah tangganya. Ketika suami jelas-jelas berselingkuhpun, kesalahan tetap dibebankan kepada istri yang tidak bisa melayani suami. Inilah system patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi terhormat di banding wanita.

Diskriminasi gender yang masih saja terjadi di masyarakat kita ini sudah seharusnya kita ubah. Zaman sudah maju, kesetaraan gender membuat siapapun bisa berhasil di bidangnya.Banyak wanita yang sukses dalam karir maupun dalam mendidik anak-anaknya meskipun berstatus single parent.

Setiap orang punya masa lalu yang belum tentu mereka kehendaki. Salah dan khilaf adalah takdir manusia sebagai mahluk yang tak sempurna. Yang terpenting bagaimana pribadi seseorang saat ini. Itu yang bisa menjadi pedoman kita dalam mencari pasangan. Janda berakhlak baik tentu sangat layak untuk dinikahi, begitu saranku kepada temanku ini. Selamat menempuh hidup baru kawan….

0 komentar :

Posting Komentar