Selasa, 27 Agustus 2013




Bendera sudah terpasang, diapit  umbul-umbul aneka warna dikiri dan kanan. Semarak hari kemerdekaan selalu saja disambut antusias oleh bapak. Mantan pejuang yang selalu beceloteh  tentang heroisme meraih kemerdekaan. Tak  tehitung cerita yang masuk ketelingaku dari mulutnya. Tentang sebuah proses  panjang perjuangan merebut kemerdekaan. Jaman susah yang benar-benar tidak akan pernah ingin dilakoninya lagi. Kisah perjuangan melawan penjajah bersama teman-teman seperjuangannya. Pengorbanan nyawa, darah dan air mata demi  berkibarnya sang saka merah putih.
Hari itu, tubuh rentanya masih terlihat gagah. Seragam legium veteran yang selalu dikenakannya ketika acara peringatan hari kemerdekaan tampak rapi jali. Dia berjalan memeriksa setiap bendera yang terpasang di pinggir jalan kampungku. Membetulkan letaknya, merapikan tiang-tiangnya. Mata tua nya  masih memperlihatkan bara api semangat perjuangan.
Setelah upacara hari kemerdekaan, bapak pulang. Wajahnya terlihat agak pucat, namun  tampak sumringah. Sebuah bale bambu akhirnya menjadi perjalanan terakhirnya. Bapak menghembuskan nafas pada sebuah bale bambu usang didepan rumah. Masih mengenakan Seragam legium veteran kebanggannya. Seutas senyum bahagia masih tampak pada wajahnya.
                                                            *****
“Nak, tolong bendera merah putihnya kau pasang ya! Bendera yang benar-benar bendera merah putih, bukan merah pudar, sepudar rasa kebangsaan anak cucuku. Bukan juga putih dekil dan kotor seperti hati para pejabat saat ini”, serunya lirih.
“Bendera bukan sekedar dua buah kain berwarna yang disatukan oleh jahitan. Nilai historis, semangat, pengorbanan dan perjuangan yang tak kenal lelah yang terkandung didalamnya jauh lebih penting dari sekedar dua potong kain”.
Aku tertegun sejenak, “oh ya ya pak sahutku  sedikit gugup dan malu
Mata bapak tampak berkaca-kaca….
 “Tidak tenang rasanya kami melihat kenyataan yang ada. Kami merasa benar-benar di khianati. Perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah asing adalah untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan seluruh rakyat, bukan memerdekakan segelintir golongan saja”.
Lalu tiba-tiba saja suasana pertempuran berkelebatan seperti slide-slide yang diputar dalam layar bioskop. Tank-tank belanda menyerbu, suara raungan senjata mesin  memekakan telinga, deru pesawat terbang menggetarkan hati. Para pejuang merangsek, menyerbu dengan senjata seadanya. Tidak tampak rasa takut buat para pejuang yang telah menggadaikan nyawanya demi kemerdekaan ini. Desingan peluru dan ledakan bom disampingku membuatku terperanjat. Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal .Peluh membasahi tubuhku, akupun beringsut bangun. Aku duduk ditepi ranjang, mencoba mengingat dan memahami.  Tak lama, adzan subuh mulai berkumandang.
                                                                        *****
Semburat cahaya matahari mulai tampak di ufuk timur. Di depan rumah, sebuah bendera usang kumal tampak berkibar lelah di terpa angin. Warna merahnya sudah pudar dimakan zaman. Bendera yang kutemukan dengan susah payah, terselip bersama pakaian bekas dan kain lap.
Kupandangi bendera lusuh tersebut, perasaan sesak kurasakan dalam dada. “maafkan aku, pak! seruku lirih. Kuturunkan bendera lusuh tersebut.




Cibinong, 14 agustus 2013


0 komentar :

Posting Komentar