Selasa, 27 Agustus 2013




Hujan baru saja usai, genangan air masih tampak dimana-mana. Sore beranjak malam. Lampu-lampu mulai menyala, membentuk cahaya-cahaya pendar melawan gelapnya malam. Pedagang kaki lima, mulai beraktivitas menyiapkan dagangannya.
Aku duduk disalah satu lapak PKL, Menikmati tepian malam yang dingin menusuk tulang. Aroma bandrek, asap rokok  dan aneka gorengan berpadu di udara. Gedung sate tampak megah diujung sana.
Ditemani segelas bandrek dan sepiring gorengan, dan riuh rendahnya muda-mudi berceloteh. Mataku tertumbuk pada sebuah gang sempit diujung sana. Di gang sempit dan bau got  itu pernah kami rajut berjuta asa, semasa kuliah dulu.. Sebongkah kenangan yang rasanya sulit untuk dilupakan. Betapa aku sangat merindukan nya pada saat-saat seperti ini. Jutaan kenangan pun kembali berkelebatan dalam kepalaku. Dari awal hingga hari-hari terakhir bersamanya.                                                                                                  
*****
Suasana lebaran, masih sangat terasa. Orang-orang ramai bersilaturahmi ke kerabat mereka. Bis jurusan Bogor itu penuh sesak. Aku berdiri disampingnya dalam suasana yang sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu. Kami pulang bersama tapi hati dan pikiran kami berjalan sendiri-sendiri. Sudah ratusan kali kami lalui jalur ini dalam suasana sukacita di mabuk asmara. Tapi tidak saat ini, Dia diam membisu dalam pengapnya bis yang diselimuti asap rokok. Aku melirik kearahnya, tatapannya kosong tak berperasaan. Aku tertunduk dalam diam, masih sesak rasanya mengingat  kata-katamu beberapa bulan  lalu.
“hubungan kita sudah tidak bisa dilanjutkan mas, sebaiknya kita berpisah saja!”
Aku tersentak kaget, “loh, memangnya kenapa?
“aku sudah tidak mencintaimu lagi, Tidak ada lagi rasa cinta dihati ini mas !”
Aku kehabisan kata-kata, ya tapi alasannya apa? Belum genap dua tahun kita menikah, kenapa kita sudah harus berpisah? Hatiku bergetar.
“mungkin bukan jodoh kita”, sahutnya dingin.
Aku terhenyak, selama menikah dengannya kurasakan jarak diantara kami memang serasa semakin hari semakin jauh.
“Terminal Bogor, Bogor, Bogor abis”
Aku tersentak dari lamunan, orang-orang bergegas turun  dari bis. Kami pun turun, “aku akan kembali ke tempat kos ku”, katanya datar. Aku terdiam,  belum sempat aku menjawab, dia sudah berlalu. Sudah satu bulan ini kami berpisah. Dia memilih untuk tinggal di tempat kos, didearah Jakarta Timur, dekat tempat kerjanya.
 Aku tersayat menyaksikan punggungnya yang  menjauh,  berjalan mantap menuju bis jurusan Jakarta.  Akupun pulang kerumah dengan perasaan kosong. Inilah perjalanan terakhirku bersamanya.
Sepanjang jalan menuju rumah, aku terhenyak di kursi pojok depan dekat supir bis. Bis bobrok ini bergerak perlahan,menimbulkan bunyi berdecit, merontokan karat dan sisa cat yang menempel.  Rentetan peristiwa berkecamuk dikepalaku, betapa aku pernah ada diatas puncak kebahagiaan, sampai terpuruk dalam kesedihan. Kami pernah tertawa dan menangis bersama,melewati berbagai peristiwa.
Diantara penumpang anonim ini,  kubayangkan dirinya  ada disana,terselip di sebuah bangku. Tangannya melambai memanggilku. Senyum lebarnya menyambutku, menuntaskan semua cerita sedih, bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Celoteh ceria segera memenuhi ruang diantara kami.Membagikan aura cerianya hingga jauh menelusup dalam relung-relung jiwaku.
Aku tersenyum-senyum sendiri dalam tebaran bau debu dan asap knalpot yang meluruh dalam paru-paruku.. Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi mempercayai hari esok.  Biarlah waktu yang nanti mengobati luka hatimu, begitu orang bijak selalu berkata. Bayangnya akan sirna ditelan masa, memudar dalam lipatan  neuron dalam otak.
Nyatanya, tawa renyahnya masih saja menelusup dalam telingaku, binar matanya selalu muncul diantara halaman sidney sheldon yang kubaca, tersenyum dalam layar komputerku, dan seringkali muncul dalam banyak peristiwa yang kualami..
                                                            ******
Aku berdiri diujung gang, mencoba mencari sedikit rasa yang mungkin masih tertinggal. Namun hanya kekosongan yang kudapat. Dulu, setiap langkah penuh debar dan harap selalu membuncah di dadaku ketika  menapaki jalan kecil ini. Ingin rasanya kulangkahkan kaki  kedalam sana, tapi kuurungkan.
Aku hanya berdiri terpaku di depan gang dan tersenyum getir  melihat kedalam, betapa banyak sekali kenangan indah pernah kita rajut diujung jalan sana. Jutaan mimpi yang pernah coba kami  susun bersama. Disebuah rumah kos berukuran mungil yang menentramkan hati. Pada keramahan om Fritz,  pada kebaikan  hati ibu Puji dan keluarga nya, Juga pada bocah perempuan berambut keriting bermata besar yang sering menemani kami mengobrol. Biarlah kini hanya menjadi pemanis dalam  kisah hidupku dan hidupnya
Bandung, 16 Agustus 2013




0 komentar :

Posting Komentar