Hujan baru saja usai, genangan air masih tampak
dimana-mana. Sore beranjak malam. Lampu-lampu mulai menyala, membentuk
cahaya-cahaya pendar melawan gelapnya malam. Pedagang kaki lima, mulai
beraktivitas menyiapkan dagangannya.
Aku duduk disalah satu lapak PKL, Menikmati tepian
malam yang dingin menusuk tulang. Aroma bandrek, asap rokok dan aneka gorengan berpadu di udara. Gedung
sate tampak megah diujung sana.
Ditemani segelas bandrek dan sepiring gorengan, dan
riuh rendahnya muda-mudi berceloteh. Mataku tertumbuk pada sebuah gang sempit
diujung sana. Di gang sempit dan bau got itu pernah kami rajut berjuta asa, semasa
kuliah dulu.. Sebongkah kenangan yang rasanya sulit untuk dilupakan. Betapa aku
sangat merindukan nya pada saat-saat seperti ini. Jutaan kenangan pun kembali
berkelebatan dalam kepalaku. Dari awal hingga hari-hari terakhir bersamanya.
*****
Suasana lebaran, masih sangat terasa. Orang-orang
ramai bersilaturahmi ke kerabat mereka. Bis jurusan Bogor itu penuh sesak. Aku
berdiri disampingnya dalam suasana yang sangat berbeda dengan beberapa tahun
lalu. Kami pulang bersama tapi hati dan pikiran kami berjalan sendiri-sendiri. Sudah
ratusan kali kami lalui jalur ini dalam suasana sukacita di mabuk asmara. Tapi
tidak saat ini, Dia diam membisu dalam pengapnya bis yang diselimuti asap
rokok. Aku melirik kearahnya, tatapannya kosong tak berperasaan. Aku tertunduk
dalam diam, masih sesak rasanya mengingat
kata-katamu beberapa bulan lalu.
“hubungan kita sudah tidak bisa dilanjutkan mas,
sebaiknya kita berpisah saja!”
Aku
tersentak kaget, “loh, memangnya kenapa?
“aku
sudah tidak mencintaimu lagi, Tidak ada lagi rasa cinta dihati ini mas !”
Aku
kehabisan kata-kata, ya tapi alasannya apa? Belum genap dua tahun kita menikah,
kenapa kita sudah harus berpisah? Hatiku bergetar.
“mungkin
bukan jodoh kita”, sahutnya dingin.
Aku
terhenyak, selama menikah dengannya kurasakan jarak diantara kami memang serasa
semakin hari semakin jauh.
“Terminal
Bogor, Bogor, Bogor abis”
Aku
tersentak dari lamunan, orang-orang bergegas turun dari bis. Kami pun turun, “aku akan kembali
ke tempat kos ku”, katanya datar. Aku terdiam,
belum sempat aku menjawab, dia sudah berlalu. Sudah satu bulan ini kami
berpisah. Dia memilih untuk tinggal di tempat kos, didearah Jakarta Timur,
dekat tempat kerjanya.
Aku tersayat menyaksikan
punggungnya yang menjauh, berjalan mantap menuju bis jurusan Jakarta. Akupun pulang kerumah dengan perasaan kosong.
Inilah perjalanan terakhirku bersamanya.
Sepanjang jalan menuju rumah, aku terhenyak di kursi
pojok depan dekat supir bis. Bis bobrok ini bergerak perlahan,menimbulkan bunyi
berdecit, merontokan karat dan sisa cat yang menempel. Rentetan peristiwa berkecamuk dikepalaku,
betapa aku pernah ada diatas puncak kebahagiaan, sampai terpuruk dalam kesedihan.
Kami pernah tertawa dan menangis bersama,melewati berbagai peristiwa.
Diantara penumpang anonim ini, kubayangkan dirinya ada disana,terselip di sebuah bangku.
Tangannya melambai memanggilku. Senyum lebarnya menyambutku, menuntaskan semua
cerita sedih, bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Celoteh ceria segera memenuhi
ruang diantara kami.Membagikan aura cerianya hingga jauh menelusup dalam relung-relung
jiwaku.
Aku tersenyum-senyum sendiri dalam tebaran bau debu
dan asap knalpot yang meluruh dalam paru-paruku.. Semua ketololan ini hanya
bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi mempercayai hari
esok. Biarlah waktu yang nanti mengobati
luka hatimu, begitu orang bijak selalu berkata. Bayangnya akan sirna ditelan
masa, memudar dalam lipatan neuron dalam otak.
Nyatanya, tawa renyahnya masih saja menelusup dalam
telingaku, binar matanya selalu muncul diantara halaman sidney sheldon yang kubaca, tersenyum dalam layar komputerku, dan
seringkali muncul dalam banyak peristiwa yang kualami..
******
Aku berdiri diujung gang, mencoba mencari sedikit
rasa yang mungkin masih tertinggal. Namun hanya kekosongan yang kudapat. Dulu,
setiap langkah penuh debar dan harap selalu membuncah di dadaku ketika menapaki jalan kecil ini. Ingin rasanya
kulangkahkan kaki kedalam sana, tapi
kuurungkan.
Aku hanya berdiri terpaku di depan gang dan
tersenyum getir melihat kedalam, betapa
banyak sekali kenangan indah pernah kita rajut diujung jalan sana. Jutaan mimpi
yang pernah coba kami susun bersama.
Disebuah rumah kos berukuran mungil yang menentramkan hati. Pada keramahan om
Fritz, pada kebaikan hati ibu Puji dan keluarga nya, Juga pada
bocah perempuan berambut keriting bermata besar yang sering menemani kami mengobrol.
Biarlah kini hanya menjadi pemanis dalam
kisah hidupku dan hidupnya
Bandung,
16 Agustus 2013
0 komentar :
Posting Komentar