By: Wisnu Mustafa & Yulia Rahmawati
No.103
Awan masih menggelayut, walau rintik hujan sudah pergi.
Kabut itu perlahan-lahan berlalu, menampakkan rumput hijau dan pohon-pohon
rindang dari balik jendela kamarku. “Aku pergi dulu ya Mas, kalau ada perlu apa-apa,
di belakang ada mbok Minah,”
teriak Pelangi, isteriku dari ambang pintu.
Belum sempat aku menjawab teriakannya, terdengar pintu
depan tertutup. Tak
lama suara mobil mulai menderu menjauh dari halaman rumahku. Wangi parfumnya masih tertinggal
diterpa angin. Hatiku bergetar, betapa aku sangat merindukan pelukan dan belaiannya. Dua tahun sudah kulalui hari dalam kesunyian, kegelapan, dan kelumpuhan.
“Pelangi...” gumamku dalam rindu. Walau kita berada dalam
satu atap, rinduku padamu terhalang raga yang tanpa daksa. Proses penyembuhanku
ini benar-benar
telah menyiksaku lahir dan batin.
Pelangi.... Terbayang dalam rindu ini padamu, ketika aku
mulai merasakan sakit kepala yang berkepanjangan. Belum lagi penglihatan dan
pendengaranku mulai memudar, kau setia mendampingiku.
Kau menyarankanku untuk periksa ke dokter, tapi aku
mengabaikannya karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Ya, saat itu, dua
tahun lalu aku adalah the
best marketer di perusahaanku. Posisi itu kuraih selama tiga tahun berturut-turut. Tentunya, itu tidak lepas dari prestasi dan kegigihanku dalam bekerja. Posisi yang sangat aku
banggakan. Betapa tidak, uang yang
melimpah, kedudukan dan fasiltas yang sangat mumpuni, seakan semua
keberuntungan tercurahkan dari langit kepadaku. Semua begitu mudah kuraih.
Karir yang cemerlang, kekayaan, isteri yang cantik dan seorang anak yang manis.
Sempurna,
semua itu dambaan hidup yang selalu
dicari oleh kebanyakan orang.
Sampai suatu saat, kepalaku terasa sangat sakit,
berdenyut-denyut. Awalnya aku mengabaikannya, cukup hanya dengan obat dari
apotek saja. Namun, belakangan sakit kepala itu semakin sering terjadi.
Sampai suat saat vonis itu benar-benar meluluhlantakan semua
semangat hidupku.
“Kanker otak anda sudah dalam stadium lanjut pak, kerusakannya akan menyebabkan gangguan pada
organ-organ lainnya,”
suara dokter bagaikan godam besar
yang dihantamkan ke kepalaku.
Hari-hari selanjutnya mulailah babak baru penderitaanku. Walau aku langsung ditangani dokter spesialis, sakit
kepalaku masih sering terasa. Pandanganku
pun mulai tak jelas, sebelum akhirnya hanya berupa bayang-bayang seperti
siluet. Kedua kakiku pun akhirnya tidak dapat menyangga tubuhku. Lemas seperti
tak bertenaga.
Sebuah
keadaan yang bagiku merupakan hal yang lebih buruk dari kematian itu sendiri.
Pernah terpikir untuk bunuh diri, namun aku tidak berani. Dini, anakku yang
baru berumur 5 tahun menyadarkanku, betapa ada tanggung jawab besar yang harus
kupenuhi. Di usiaku yang belum genap 40 tahun, jiwaku sekarat dalam tubuh yang
sebenarnya sudah kuaggap mati.
Atas rujukan dokter, aku pun dioperasi ke luar negeri.
Uang yang berlimpah tiba-tiba terkuras oleh biaya pengobatan.
Perusahaan pun akhirnya terpaksa memberhentikanku. Pensiun dini, sebuah istilah
yang terdengar sangat menyakitkan.
Uang
pesangon yang diberikan perusahaan memang cukup besar. Namun itu juga akhirnya
habis untuk biaya pengobatanku.Hanya
rumah ini yang tersisa dari harta kita, inilah salah satu hal yang
sangat kusesalkan dalam hidup. Tak berdaya dan terpakksa aku mengizinkanmu bekerja untuk kebutuhan kita. Namun
seiring dengan karirmu yang terus menanjak, kurasakan kau semakin berbeda.
Sikapmu semakin dingin, kemesraanmu tidak kurasakan lagi. “Aku rindu semua kasih mu Pelangi”……
“Pelangi,
rupamu semakin hari semakin indah tapi sayang kau tak dapat kuraih,” perlahan aku
mengguman. Hanya sapaanmu yang masih terngiang di telingaku. Datar dan terkesan
dipaksakan, tapi selalu aku kenang. Wajahmu menyeruak dalam bayangan mataku.
Namun, aku harus membebaskanmu, aku dan anak kita dari semua ini.
Kini,
aku sudah mulai bisa bergerak walau hanya dengan kursi roda. Tetapi dokter
menyemangatiku bahwa aku pasti bisa berjalan seperti semula bila aku rajin
terapi. Bila tidak sedang terapi, Dinilah yang menjadi temanku bermain dan
bercengkrama sepulang dia sekolah.
***
Bentangan gunung salak tampak samar tertutup awan tebal.
Sisa-sisa rintik hujan yang turun subuh tadi masih terasa. Mentari yang
berusaha keras keluar dari jebakan awan bersinar dengan malu-malu menghangatkan
pagi. Cahayanya dipantulkan sisa air di udara menampilkan pelangi yang sangat indah
di angkasa.
Pagi ini aku menatap keindahan alam Gunung Salak di teras
rumah. Menunggumu keluar, sebelum kau pergi meninggalkanku.
Suara ketukan sepatu high heels mulai terdengar, menyadarkanku akan kehadiranmu. “Mas, kok ada di luar? Dingin kan?” Sapa Pelangi.
“Iya, aku sengaja menunggumu,” jawabku tersenyum.
“Oh... ada apa Mas?” kata Pelangi sambi melirik jam
tangan, “Pagi ini aku ada meeting, kalau ada yang mau diomongin...”
“Iya,” potongku cepat. “Aku... aku hanya ingin menyapamu,
sudah lama kita tidak ngobrol,” kataku.
“Mas, ngobrolnya lain waktu aja gimana?” kata Pelangi.
“Pelangi...!” aku terdiam, tapi aku harus mengatakannya.
“Iya...” jawab Pelangi dengan tak sabar.
“Bila kamu merasa terbebani sama sakitnya Mas, Mas akan
membebaskanmu, Pelangi,”
“Maksud Mas?” Pelangi terduduk.
Wajahnya tampak sangat terkejut.
“Ya, aku membebaskanmu untuk memilih bersamaku atau
melanjutkan hidupmu sendiri. Aku tak tahan kau abaikan Pelangi. Aku mengerti
bahwa kamu sangat sibuk, dan semua itu untuk biaya penyembuhanku dan memenuhi kebutuhan
keluarga kita. Tapi, aku tak mau jadi bebanmu. Aku paham, bukan hanya kebutuhan
lahir yang tidak bisa kupenuhi, tapi kebutuhan batin juga,” kataku pelan.
“Mas...”, mata Pelangi mulai berkaca-kaca
“Sebenarnya aku tak ingin melepaskanmu Pelangi. Kaulah
pelangi hati dalam hidupku. Tapi, aku tak ingin membuatmu terkungkung dalam diriku yang tak
berguna ini.”
“Tidak Mas...” Pelangi menatapku tak percaya. “Aku masih
setia padamu. Dan aku tidak akan pergi darimu. Akad pernikahan kita adalah
janji kita pada Tuhan. Aku tidak akan mengkhianatinya.”
“Tapi Pelangi...”
“Mas, aku minta maaf bila semenjak bekerja aku seperti
mengabaikanmu,” Pelangi tertunduk. “Aku sadar dan malu bertemu Mas, karena aku
mengabaikan dan tidak menjagamu. Tapi, aku juga harus bertemu banyak klien,
yang kuanggap itu jalan rejeki kita.Akhirnya aku malah mengabaikanmu dan
Dini, lupa
akan tujuan aku bekerja. Maafkan aku Mas...”, Pelangi sudah tidak dapat
membendung linangan air mata yang membasahi pipinya.
“Aku sudah memaafkanmu Pelangi... hanya saja aku tak
ingin membebanimu... Bila kau ingin pergi, pergilah. Asalkan kau bahagia, aku
akan sangat bahagia.”
“Tidak. Aku tidak akan melepaskan mu, mas. Aku
akan berusaha untuk seimbang antara pekerjaan dan menjaga mas serta Dini. Aku sudah bahagia berada di sisi mas dan Dini.”
“Kita
akan selalu bersama, sampai maut memisahkan kita mas, itu janjiku”
“Oh Pelangi... alangkah bahagianya aku mempunyai istri
sepertimu,” lirihku dalam genggaman tangan Pelangi.
“Mama... Papa... lihat ada pelangi...!” teriak Dini,
putri kami, sambil menunjuk ke arah pegunungan. “Indah
ya...”
NB: Pernah Diposting di salah satu even menulis di kampung fiksi kompasiana
0 komentar :
Posting Komentar