Rabu, 28 Agustus 2013





Partini terkulai lemah di atas lantai kamar yang beralas kasur tipis. Disampingnya dua anak kembar yang baru saja dilahirkan tertidur pulas. Matanya menerawang kelangit-langit rumahnya, hatinya sedang gundah. Dia tinggal di sebuah bangunan sederhana yang lebih cocok di sebut gubuk. Dinding gedek tampak sudah bolong disana-sini., sementara sarang laba-laba tampak memenuhi langit-langit rumahnya yang tak berplafon.

Hadirnya buah hati merupakan suatu kebahagiaan yang tak terkira buat banyak orang. Namun untuk dirinya, kehadiran mereka benar-benar membuat hatinya diliputi sejuta kebimbangan. Bagaimana dia bisa merawat mereka. Sementara dua anak yang lainnya saja tidak dapat dia penuhi kebutuhan sehari-harinya.

Beban ekonomi yang dirasakannya bertambah berat terutama semenjak Mas Paijo pergi meninggalkannya tiga bulan yang lalu. Lelaki pemabuk itu meninggalkan dia dan anak-anak mereka tanpa pesan apa-apa. Gajinya sebagai pembantu rumah tangga, tentu saja tidak cukup untuk menutup semua kebutuhan sehari-hari.

Teringat percakapannya dengan seorang ibu paruh baya yang kemarin datang ke rumahnya.

“Bu Partini, lucu sekali bayi nya. Ini ada sedikit oleh-oleh buat merayakan kehadiran bayi-bayi lucu ini”.

“terima kasih ya bu, tapi maaf Ibu ini siapa ya?

“oh ya, saya bu Tuti, temannya bu Siti majikan ibu.

“Saya tau dari Bu Siti, katanya pembantunya yang bernama Partini baru saja melahirkan bayi kembar yang lucu”

“oh, terima kasih ya bu….

“merawat bayi kembar seperti ini pasti butuh biaya yang besar ya bu? Tanya bu Tuti dengan mimik penuh perhatian.

“ya begitulah bu, untuk biaya persalinan saja saya masih berhutang ke Paraji yang di ujung gang sana”

“untuk biaya sehari-hari darimana?

“ngak tau bu, saya juga bingung, suami saya juga pergi entah kemana, sementara ini masih ada sisa sedikit uang dari Bu Siti”.

“ehmm kasihan sekali ya”

“Begini bu, keponakan saya sudah menikah 3 tahun tapi belum juga dikarunia anak. Dia sangat mendambakan punya momongan.” Maaf ya bu, kalau ibu mau, bagaimana kalau anak ibu yang satu, atau dua-duanya, ibu berikan saja kepada keponakan saya. Bukannya menghina, tapi apakah ibu sanggup merawat dua bayi sekaligus? Biayanya pasti sangat banyak. Nanti, ya adalalah uang penggantiannya. Biaya Paraji biar saya yang bayar, gimana bu?

Partini termenung sejenak, hatinya bimbang. Hati kecilnya rasanya tidak tega jika harus berpisah dengan putri kecilnya.

“ehh gimana ya bu? Saya bingung, nanti saya pikir-pikir dulu ya bu….”

“Ibu pikirkan saja dulu, tapi apa ibu tega, mereka hidup tapi terlantar? Bocah bayi seperti mereka harusnya terpenuhi semua kecukupan gizinya bu. kasihan kalau bocah sekecil ini sampai harus kekurangan gizi”.

“Baiklah, nanti dua hari lagi saya kembali lagi ya”…..

                                                                              *********

Partini bersandar pada bale-bale di depan rumahnya, di dada kiri, bayi mungilnya sedang menyusu. Pagi mulai menggeliat, ufuk timur sudah mulai benderang. Aroma humus dan ilalang mengepung dari halaman rumahnya. Aroma yang selalu memberinya ketenangan ditengah hiruk pikuk kota.

Dua anak lainnya sedang bersiap berangkat ke sekolah.

“bu, uang jajan nya mana? Dua jagoan ciliknya tiba-tiba muncul dari dalam rumah.

“ibu ngak ada uang nak, maaf ya? Rasanya Partini ingin menangis, dadanya terasa sesak.

“ini si mbah ada uang dua ribu nih! Suara si mbah dari dalam rumah.

Dua bocah itu berlari kedalam rumah. Neneknya memberi mereka masing-masing seribu rupiah. Wajah riang segera terpancar dari keduanya. Untunglah jarak rumah kesekolah tidak terlalu jauh. Mereka berangkat sekolah cukup jalan kaki saja.

“hati-hati dijalan ya nak”…….

“ya bu, assalammualaikum………..

“wa aalaikum saaalam, seru Partini dengan pandangan mata haru.

Partini baru saja akan masuk kedalam rumah ketika dilihatnya Ibu Tuti datang bersama seorang temannya. Sebuah mobil tampak menunggu di ujung jalan sana. Setelah mempersilahkan tamunya duduk, Partini bergegas kedalam kamar. Masih saja hatinya bimbang.

“ada apa toh nduk? Suara ibunya bertanya dengan suara pelan

“kalau kamu ragu-ragu, sebaiknya tidak usah kamu berikan”

“ndak bu, aku memang harus memilih. Ini demi masa depan sikembar, juga masa depan Fauzan dan Fery. Jika aku berikan dua anak ini, paling tidak mereka akan punya masa depan yang lebih baik. Aku bisa kembali bekerja. Fauzan dan Feri tak perlu kekurangan uang jajan.



                                                                              ******

Mobil itu segera berlalu, mata Partini tak juga beranjak dari mobil yang mulai menjauh dari pandangannya. Hatinya serasa di iris-iris, dua butir air mata jatuh dari kedua pelupuk matanya. Tangannya masih menggenggam amplop coklat yang tadi diberikan ibu Tuti.

“kamu harus punya kehidupan yang lebih baik nak, ini pilihan yang ibu rasa paling baik, maafkan ibu nak”, serunya dalam hati.

Tangan renta Ibu memeluknya, “ sudahlah nduk, jika Allah mengijinkan, suatu saat pasti kamu akan bertemu lagi dengan mereka.

                                                                            ********

Hari berganti, partini sudah mulai bekerja lagi. Pikirannya mulai agak tenang meskipun masih sering teringat kepada dua putri kembarnya. Kehidupannya sudah mulai bisa kembali normal. Uang yang diberikan oleh bu Tuti, sebagian digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya. Sebagian lagi dibelikan beras dan kebutuhan sehari-hari.

Partini baru saja selesai menunaikan shalat Maghrib bersama dua orang anaknya,ketika tiba-tiba pintu depan diketuk orang.

“Assalamualaikum…….Bu partini, saya pak RT bu………! Suara orang diluar sana memanggil-manggil namanya.

“waaalikum salam, Partini bergegas membuka pintu depan. DI luar rumah tampak pak RT bersama tiga orang berbadan tegap. Disampingnya tampak Bu Tuti yang di apit erat dua orang wanita berambut pendek.

“Ibu yang bernama Partini?

“Ya, pak ada apa ya? tanya nya dengan wajah bingung

“Ibu harus ikut ke kantor polisi, karena ibu diduga terlibat dalam sindikat perdagangan bayi. Mari bu, ibu harus mempertanggungjawabkan perbuatan ibu. Menjual dan memperdagangkan bayi adalah perbuatan melawan hukum” suara polisi tadi bagaikan godam besar yang dihantamkan ke kepalanya. Pikirannya melayang-layang, menyeruak kedalam relung-relung hatinya yang paling dalam. Mengapa hidup ini demikian kejamnya, ini sungguh tak adil, teriaknya dalam hati……

0 komentar :

Posting Komentar