Rabu, 28 Agustus 2013



Perempuan kurus dan dekil itu menatap nanar ke arahku. Tatapannya kosong, sesekali mulutnya berguman tak jelas. Rambutnya riap-riapan tak karuan, bau pesing dan apek bercampur menjadi satu.Kakinya terikat kuat pada sebatang balok besar berkuran kurang lebih satu setengah meter. Membatasi geraknya sekaligus mengikat kehidupannya dalam ruangan sumpek ini. Kulitnya tampak kusam di tutupi daki. Pergelangan kakinya tampak kurus karena lama tidak digerakan. Lalat beterbangan disekitar tubuhnya yang berbau tak sedap.

“Surti, ini aku Sur…., Mas Narto, kamu masih ingat?

“hi hi hi hi hi, aku orang kaya, rumah ku besar, aku ngak mau pulang ….aku ngak mau pulang, mulutnya menyeringai, sesaat kemudian terdiam…….

Aku terdiam menatap wanita muda di hadapanku ini. Teringat betapa dulu aku penah sangat mendambakannya. Betapa tidak, enam tahun lalu, Surti adalah kembang desa di kampung kami. Wajahnya cantik, ramah dan selalu ceria. Kemiskinan yang membelenggu keluarga nya membuatnya nekat mengadu nasib menjadi TKW ke arab Saudi. Tahun ketiga setelah kepergiannya, Surti pulang. Seisi kampung menyambut nya dengan takjub. Surti pulang dengan penuh kemenanganan. Wajahnya sumringah, kecantikannya memancar seiring dengan dandanan nya yang semakin modis. Tak beda dengan dandanan orang-orang kota yang sering kami lihat di layar TV.



Sebentar saja, semua lelaki di kampungku membicarakannya. Tidak hanya yang muda, orang-orang tua pun dibuat belingsatan melihat kecantikannya. Namun itu hanya sebentar, karena kemudian terbertik kabar jika Surti akan segera menikah dengan pemuda pilihannya. Konon mereka bertemu ketika Surti masih berada di balai latihan TKW di Jakarta. Surti disunting oleh pemuda beruntung itu. Pesta besar pun kemudian dilaksanakan, di iringi sumpah serapah dalam hati seluruh pemuda kampung, termasuk juga diriku. Pupus sudah harapan cintaku di gondol orang.

Tiga tahun hidup berumah tangga, kehidupan ekonominya bukan bertambah baik. Partono suaminya adalah seorang pemalas. Kerjanya setiap hari hanya berjudi, dari mulai sabung ayam hingga judi togel. Ketika anak pertamanya lahir, kehidupan semakin sulit saja. Uang tabungan Surti dari bekerja di Arab Saudi mulai habis. Warung kecil yang dulu diharapkan bisa menjadi penopang kehidupannya ahirnya bangkrut.

“Surti, lebih baik kamu kerja lagi saja di Arab Saudi, biar Budi anak kita, aku yang merawatnya, toh dia juga sudah besar sekarang”, kata suaminya suatu sore.

“tapi akhir-akhir ini aku dengar di berita, disana makin tidak aman mas, banyak TKW yang disiksa, aku takut” sahut surti.

“dulu kan kamu pernah kerja disana, toh ngak apa-apa kan?

“Sudahlah mendingan kamu kerja lagi saja ke Luar negeri, besok aku urus semua dokumen nya”. Nada suara Partono meninggi.

Surti tertunduk, rasanya dia tidak bisa membantah suaminya. Ekonomi mereka memang sedang sulit. Satu-satunya jalan, dia memang harus kembali bekerja. Namun yang menjadi ganjalan nya adalah Budi. Anak semata wayangnya yang baru berusia dua setangah tahun. Rasanya berat sekali berpisah dengan anaknya ini.

Dengan sejuta keraguan dalam hati, Surti pun berangkat ke tanah harapan. Mimpi indah yang coba di raihnya kembali. Namun impian tinggalah impian karena yang didapat adalah sejuta siksaan. Belum genap dua tahun, diapun terpaksa dipulangkan. Petugas mendapatinya terlunta-lunta di jalanan setelah sekelompok orang tak dikenal memperkosanya.

Surti pulang dengan wajah tertunduk, malu, sedih dan putus asa bercampur aduk menjadi satu. Bersamanya beberapa orang juga terpaksa dipulangkan dengan berbagai macam sebab. Mereka adalah orang-orang kalah yang kembali ke kampung halaman dengan sejuta cibiran. Ada saja mulut-mulut usil yang bukannya bersimpati malah menyebarkan berita negative perihal kepulangan mereka.

Surti disambut oleh Budi serta kedua orang tuanya. Tak Nampak Partono suaminya diantara mereka.

“ Kemana mas Tono, bu?

“ehhh anu ehh lagi sibuk, jadi ngak sempet ikut”, bu Kusmi menjawab tergagap. Dia tak ingin membebani pikiran putrinya dengan berita yang sedang heboh dikampung.

“kamu sudah besar ya bud, sudah tinggi sekarang”

“mana oleh-olehnya bu? Aku mau robot-robotan bu? “ Budi menarik-narik tangan ibunya

“ya, nanti kita beli ya nak”, Jawabnya dengan bergetar, Mata Surti berkaca-kaca. Jangankan untuk membelikan oleh-oleh, untuk beli makan saja saat ini dia tidak punya uang sama sekali. Pakaian yang dipakaipun hasil pemberian dari orang di KBRI. Biaya untuk pulang sampai ke desa, semua ditanggung oleh pemerintah.

Dia termangu-mangu dalam perjalanan pulang, “Semoga saja Mas Partono bisa mengerti keadaanku”. Komunikasi terakhirku dengan Mas Partono membuatku sedikir optimis, bahwa semua akan baik-baik saja.

“maafkan aku ya Sur, aku jadi buat kamu menderita seperti ini, nanti setelah kamu pulang kita mulai lagi menata kehidupan kita”, suaranya meyakinkanku.

“uang yang kamu kirimkan selama satu tahun kemarin, aku pakai untuk beli motor. Aku pakai ngojek, buat menafkahi anak kita. Sisanya aku tambhakan untuk modal bikin warung lagi didepan rumah bapak.”

“Kamu tak perlu lagi bekerja keras, biarkan aku saja yang mencari nafkah”

“oh terima kasih mas, jika uang yang aku kirimkan bisa kau gunakan dengan sebaik-baiknya. Aku benar-benar rindu kepada keluarga kita mas.

                                                                              ******

Jalan aspal yang mulus mulai terasa bergelombang dan tak lama kemudian berbatu-batu. Surti tersentak dari lamunannya. Desa yang asri dengan deretan sawah dan pohon-pohon buah-buahan menyambutnya. Jalan yang berbatu membuat mobil yang membawanya berjalan perlahan. Matanya bertumbuk pada dua orang yang sedang berboncengan motor di depan nya. Seorang wanita bertubuh seksi tampak dengan mesra memeluk si pengendara motor. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat mereka tertawa-tawa. Gaya centil siwanita membuatnya risih. Surti memalingkan mukanya dari pemandangan di depannya.

Tiba-tiba, budi berteriak,

Itu bapak, bu…….bu itu bapak”, serunya. Surti terkesiap, “ mana, Bud?

“Itu yang lagi boncengan motor”

Hatinya mendidih, itu memang benar suaminya…… “mas, berhenti kamu!! Teriaknya dari dalam mobil. Partono menengok, tampak kaget dan kemudian malah tancap gas, dan segera menghilang di ujung jalan sana. Cerita-cerita yang didengar berikutnya seperti godam besar yang di pukulkan ke kepalanya.Surti benar-benar terguncang mendengar hal yang sedang terjadi. Uang yang di kirimkannya ternyata digunakan oleh suaminya untuk menikah lagi.

                                                                           *********

Rambutnya yang dulu hitam mengkilat kini tampak kusam. Kulitnya yang kuning langsat sekarang di penuhi koreng dan bintik-bintik merah bekas gigitan nyamuk. Layu sudah bunga yang dulu dikelilingi kumbang. Orang tua Surti sudah tidak mampu lagi membiayai pengobatannya.

Wajahnya menyeringai menampakan gigi nya yang kuning. Hi hi hi…..

“Aku cantik dan kaya raya, uangku banyak….uangku banyak……..

Aku beranjak meninggalkannya. Jika saja negeri kaya sumber daya alam ini dikelola dengan penuh dedikasi dan kejujuran. Rasanya tak perlu lagi rakyat kecil mempertaruhkan nyawa mencari pekerjaan dinegeri orang.


Cerita terinspirasi dari berita di viva news.com tanggal 17 februari 2012, berjudul “Derita TKI yang dipasung”

0 komentar :

Posting Komentar